Cerpen
Persahabatan : Senyum Terakhir. Karya : Ainun Cahya Mahmuda. Kelas 7a. Dengan
nafas yang terengah-engah setelah mengendarai sepeda. Aku terhenti saat ku
melihat dia, aku tak tau siapa dia. Wajahnya cukup cantik dan manis, aku
singgah membeli
segelas air untuk melepaskan dahaga yang melanda tenggorokanku.
Setelah
beristirahat aku langsung menggayuh pedal sepeda untuk pulang ke rumah.
Sesampai dirumah, kedua orang tuaku sedang pergi ke sebuah tempat yang aku
tidak tau. Aku segera pergi mandi karena badanku sudah bermandi keringat.
Setelah mandi aku memakai pakaian dan menuju taman yang tak jauh dari kompleks
rumahku. Aku kaget si dia juga sedang berada ditaman. Tanpa pikir panjang aku
langsung menghapirinya.
“Hai…..”,
kataku
Dengan
senyum aku menyapanya.
Tapi
dia tidak merespon dan tetap saja membaca sebuah novel. Sekali lagi aku
mengulangi sapaanku.
“Hai..
boleh kenalan gak?”.
“Iya
ada apa?”, katanya sambil menatap novel yang dibacanya.
“Aku
boleh gak kenalan? Namaku Zhaky”, sambil mengulurkan jemariku.
Dia
langsung berdiri lalu meletakkan bukunya di atas kursi dan memberi tah u
namanya.
“Namaku
Tamara”, katanya dengan senyum.
“Kamu
tinggal dimana?”, kataku.
“Aku
tinggal di sebelah kiri toko buku dekat gerbang kompleks. Aku baru pindah
kemarin.”
“Oooo….
Kamu anak baru yah?”.
“Memang
kenapa?”.
“Tidak
kenapa-kenapa kok”.
“Ayo
aku temani jalan-jalan di taman ini. Lagi pula gak enak juga kalau suasananya
begini-begini saja”, pintaku.
“Ok..
baiklah”, katanya dengan lembut.
Langkah
demi langkah mengawali perkenalanku dengan si dia yaitu Tamara. Kami berjalan
mengeliling taman, dari pada hanya terdiam lebih baik aku memulai pembicaran.
Aku menanyakan banyak hal kepadanya. Dan kami selalu menyelingi pembicaraan
kami dengan candaan yang cukup untuk mengocok perut hingga sakit.
Sekarang
sang mentari akan kembali ke peraduannya. Kami berjalan pulang bersama karena
arah rumah kami searah. Tamara berada di depan kompleks sedangkan rumahku ada
di lorong kedua sebeleh kanan di kompleks tempat tinggalku. Sesampai di depan rumah
Tamara kami berhenti dan menyempatkan diri untuk bercanda sebentar.
Suara
teriakan Ibunya yang memanggil membuat kami berdua kaget.
“Tamara…
Tamara… ayo cepat masuk, udah hampir malam nih!, teriak ibunya.
“Ya
bu.. tunggu!, Zhaky aku duluan yah?”, katanya dengan senyum.
“Iya...”,
kataku sembari membalas tersenyumnya.
“Kamu
juga cepetan pulang, nanti di cariin sama Ibu kamu”.
“Ok…
aku pulang yah.. dadah..!, sambil berjalan dan melambaikan tangan.
Di
perjalanan, aku hanya bisa berkata “baru kali ini aku bisa cepat berkenalan
dengan seorang gadis, apalagi gadis seperti Tamara”. Kini aku berjalan di
antara jalan yang sepi dengan sedikit penerangan dari lampu jalan yang mulai
redup dan di kerumuni serangga.
Sesampai
di rumah aku di marahi oleh Ibuku.
“Kamu
ke mana aja”?, bentak Ibu.
“Maaf
Bu, aku tadi dari keliling taman”, kataku sambil menunduk.
“Lain
kali jangan pulang telat lagi yah?”.
“
Iya Bu”, sembariku meninggalkan ibu di teras rumah.
Keesokan
paginya aku bertemu dengan Tamara, ternyata aku sama sekolah dengan dia,
kemarin aku lupa nanya sih. Aku langsung berlari menghapirinya.
“Tamara…
Tamara…. tunggu aku!”, kataku sambil berlari.
Tamara
berhenti dan memegang pundakku.
“Masih
pagi-pagi kok dah keringatan kayak gini?, ini usap keringatmu!”, katanya
sembari menyodorkan sapu tangannya.
“Iya
nih, kamunya tuh. Kamu jalannya cepat amat” .
“Iya
maaf”, kataya sambil tersenyum.
“Ayo
buruan entar pintu gerbang di tutup”.
Sesampai
di sekolah aku langsung ke kelas dan ternyata Tamara juga sekelas dengan aku.
Dia duduk di sampingku, karena Dino teman aku baru pindah sekolah dua hari yang
lalu. Tamara naik dan memperkenalkan dirinya ke teman-teman kelasku.
“Hai
perkenalkan namaku Tamara Adelia, panggil aja aku Tamara. Aku baru pindah dari
Makassar kemarin, semoga kita semua bisa menjadi teman yang akrab”.
“Ok….”,
Teriak semua temanku.
Kini
kami semakin dekat. Kami selalu bersama, kami duduk di depan kelas sembari
bercerita tentang tugas sekolah.
“Kamu
suka pelajaran apa?”, tanyaku.
“Aku
paling suka pelajaran matematika”.
“Kenapa
kamu suka pelajaran itu?, padahal pelajaran itu agak rumit dan memusingkan”.
“Karena
aku suka aja dengan pelajaran itu, kalau kamu sukanya pelajaran apa?”.
“Aku
paling suka dengan pelajaran bahasa Indonesia, yah pelajaran sastra”.
“Kenapa
kamu suka pelajaran itu?, tanyaku.
“Seperti
kamu tadi, aku suka aja dengan pelajaran itu. Aku sudah buat beberapa cerpen,
mau baca?”, kataku sambil menyodorkan beberapa cerpen karyaku.
“Ini
buatan kamu?, aku gak percaya”.
“Iyalah,
ini buatan aku. Kamu baca yah dan berikan saran, ok?”.
“Ok…”,
katanya sambil tersenyum.
“Tttttttteeettt….”,
Bunyi bel menandakan kami akan melanjutkan ke pelajaran berikutnya. Tapi, guru
yang mengajar tidak datang. Jadi aku dan Tamara bersama teman-teman yang lain
hanya bercerita tentang hal-hal yang dapat mengocok perut.
Tak
lama kemudian, kami pun pulang. Aku bersama Tamara dan temanku yang lain
berjalan menuju pintu gerbang, menertawai hal yang tak patut ditertawai. Di
perjalanan pulang Tamara berteriak, “Auuuuhh sakit, Zhaky bantu aku berdiri!”
pintanya sambil meneteskan air matanya. kaki Tamara tersandung batu, dan
kelihatannya kaki Tamara Terkilir.
“Sudah
jangan nangis donk, pasti kamu akan sembuh kok”, kataku menyemangati.
“Iya
Zhaky, tapi kaki aku sakit banget. Bantu aku berdiri donk!”, pintanya
“Auuuuhh….
Sakit!!”, katanya sambil merintih kesakitan.
“Sini
biar aku gendong deh, gak apakan?” .
“Betul
mau gendong aku, aku berat loh!”, katanya sambil tersenyum.
“sakit-sakit
gini sempat aja ngelawak, sini naik cepat”.
“hehehe….
Aku beratkan?”, tanyanya, sambil tertawa.
“Gak
kok..”, kataku sambil tersenyum.
Sesampai
di depan rumah Tamara, Ibunya yang sedang membaca koran kaget saat melihat
kedatanganku yang menggendong Tamara.
“Tamara,
kamu gak apa-apakan nak?”.
“Gak
apa-apa kok Bu”, kata Tamara.
“Kakinya
terkilir tadi waktu jalan pulang tante”, kataku.
“Terima
kasih yah nak ….”
“
Zhaky, tante!”, ucapku dengan maksud memperkenalkan diri.
“Iya
terima kasih yah nak Zhaky”, katanya sambil tersenyum.
“Tamara,
tante, Zhaky pulang dulu yah?”, kataku.
“Iyaa
nak Zhaky, kapan-kapan main ke rumah yah?”, kata ibu Tamara.
“Baik
tante”, kataku sambil tersenyum.
Sehabis
menggendong Tamara punggungku rasanya ingin copot, benar juga kata Tamara
badannya berat. Tapi, tidak apalah dari pada sahabat aku Tamara gak pulang ke
rumah. Sesampai dirumah aku langsung melepas pakaian dan makan siang. Sesudah
itu aku langsung tidur karena aku lelah banget udah gendong Tamara.
Keesokan
paginya aku menunggu Tamara di depan rumahnya. Saat melihat dia keluar rumah,
dia sudah bisa berjalan dengan baik. Aku kaget dan bengong melihatnya.
“Woii
kamu kenapa bengong kayak gitu?”, tanyanya sambil mencubit pipiku.
“Akh
gak apa kok!, eh kok cepat amat sembuhnya?”.
“Iyaa
nih, semalam aku dibawa ke tukang urut, rasanya sakit amat waktu di urut”.
“Baguslah,
daripada berjalan dengan pincang”, kataku sambil tersenyum.
Sampai
di sekolah teman-teman ku berkumpul membicarakan sesuatu, aku dan Tamara
bergegas ke sana dan mendengar apa yang di ceritakan teman-temanku itu.
“Teman-teman,
besokkan kita libur bagaimana kalau kita liburan?”, kata Naila.
“Kita
mau ke mana ?”, tanyaku memotong pembicaraan.
“Kita
akan pergi liburan, baiknya kita ke mana?”, kata Denny.
“Bagaimana
kalau kita pergi ke tempat rekreasi terkenal di kota ini!”, kata Tamara.
“Baiklah
kita akan ke pantai Bira!”, kataku.
Tak
sabar menunggu saat itu, aku menceritakan sedikit tentang pantai Bira kepada
Tamara. Kami tidak memerhatikan penjelasan guru, akibat cerita kami yang
semakin mengasyikkan. Tak lama kemudian bel istirahat pun berbunyi. Rasanya aku
tidak ingin berpisah dengan Tamara walau sekejap saja. Tapi, mungkin itu cuman
perasaanku saja. Kami berkeliling sekolah mencari hal-hal yang baru dan
melupakan apa yang aku banyangkan tadi.
Tidak
lama kemudian, bel kembali berbunyi kami berlari ke kelas. Kami berlari sambil
tertawa dengan senangnya. Rasanya hal ini adalah hal yang terindah bagiku.
Sesampai di kelas kami duduk dan menunggu guru. Tak lama kemudian, guru yang
mengajar pun datang.
Aku
merasa agak tidak enak badan. Tamara iseng mencubit pipiku dan Tamara kaget.
“Zhaky
kamu gak apa-apa, kan?” tanyanya dengan khawatir.
“Aku
gak apa-apa kok”, kataku dengan nada yang pelan.
“Kamu
sakit dan aku harus antar kamu pulang!”, katanya sambil berjalan menuju guruku.
“Pak,
Zhaky sakit”, katanya.
“Baiklah
bawa dia pulang, kamu mau mengantarnya?” tanya pak guru.
“Iya
pak aku bisa kok”, katanya.
Berhubung
sudah hampir pulang Tamara memasukkan barang-barangku ke dalam tas
lalu
dia juga membereskan barang-barangnya.
“Ayo
aku antar kamu pulang”, katanya.
Tamara
meminta izin mengantar aku pulang. Sambil memegang jemari-jemariku dan sesekali
memegang keningku. Tamara selalu bertanya tentang keadaanku. Tapi, aku hanya
bisa menjawabnya dengan kalimat, “Aku baik-baik saja kok, gak usah khawatir”.
Sesampai
di rumah aku langsung di bawa Tamara ke kamarku sembari ibu mengomel-ngomeliku.
“Ini
sebabnya kalau makan gak teratur”, katanya.
“Sudah
tante, Zhaky ‘kan lagi sakit”, pinta Tamara ke Ibuku.
“Biarlah
nak, biar dia tahu rasa”, kata Ibuku.
“Kalau
begitu aku pulang dulu tante”.
“Nak
nama kamu siapa?”.
“Nama
aku Tamara, tante”.
“Terima
kasih yah nak Tamara, udah bawa pulang anak tante ini”.
“Iya,
sama-sama tante”, katanya.
Aku
melihat senyuman indah dari Tamara saat akan keluar dari kamarku.
Keesokan
paginya, rasanya badanku udah sehat. Aku bergegas menyiapkan barang yang akan
ku bawa. Aku mandi dan sesudah itu berpakaian rapi dan langsung menuju rumah
Tamara. Tapi, Tamara sudah berangkat duluan. Aku langsung ke sekolah. Sampai di
sekolah aku melihat Tamara dan langsung menghampirinya.
“Zhaky,
kamu udah sembuh?”, katanya.
“Iya..
aku udah sembuh kok”.
“Betul
aku udah sembuh”, kataku sambil meraih tangannya dan meletakkannya di keningku.
Tak
berapa lama kemudian, bus yang akan mengantar kami ke pantai Bira pun datang.
Aku duduk di belakang bersama anak lelaki lainnya. Tamara berada di depan
bersama teman wanitanya. Di perjalanan rasa gelisahku semakin tak menentu. Aku
memiliki pirasat buruk dan naas tak berselang beberapa lama mobil yang aku
tumpangi kecelakaan.
Aku
merasa kepalaku sakit, saat ku pegang kepalaku mengeluarkan darah yang banyak.
Tapi, yang ada di pikiranku sekarang adalah Tamara. Aku langsung berteriak
dengan nada yang lemah. “Tamara.. kamu gak apa-apa, kan?”. Aku tak mendengar
suaranya. Aku melihat teman-temanku terluka dan mengeluarkan banyak darah. Saat
aku ke tempat duduk Tamara, aku melihat kepala Tamara mengeluarkan banyak
darah. Rasa sakit yang aku rasa membuat aku pingsan.
“Zhaky,
Zhaky, bangun nak, ibu di sini”, kata ibuku sambil menangis.
Mendengar
suara itu, aku terbangun. Aku sekarang berada di rumah sakit, aku kaget dan
berteriak.
“Dimana
Tamara Bu? Tamara baik-baik sajakan Bu?”.
Ibu
hanya terdiam sambil menatap ayah.
“Ibu
apa yang terjadi?”, aku mulai meneteskan air mata.
“Maaf
nak, kini Tamara sudah berada di tempat lain”, dengan nada yang pelan ibu
memberitahuku.
“Jadi
maksud ibu?”.
“Iya
Nak, Tamara telah meninggal akibat kecelakaan itu”, kata ibu sembari memelukku.
Aku
terduduk di ranjang dan dipeluk ibu sambil menangis dengan keras dan berkata “
kenapa dia terlalu cepat meninggalkan aku Bu?”. Aku terdiam dan mengingat saat
aku sakit, dia memberiku senyuman yang kuanggap indah itu dan menjadi senyuman
terakhir darinya. ( Selesai cerpen persahabatan )
Dari
Sebuah cerpen persahabatan diatas apakah ada hikmah yang dapat Sobat petik dari
kisah tersebut? Silahkan berikan komentar Sobat melalui kotak komentar dibawah
ya,, Trus jangan lupa juga donk, klo menurut Anda cerpen tersebut mengandung
hikmah bagi like nya ya.
Karya
: Ainun cahya m
Tidak ada komentar:
Posting Komentar