Karya
: Yohana Tri Oktavia. Kelas : 7a. Pukul 01.45 am, aku mulai menguap. Aku pun
memutuskan untuk tidur. Sebelum tidur, aku menutup jendela kamarku terlebih
dahulu. Setelah itu, aku merebahkan badanku di atas ranjang. Dan beberapa menit
kemudian aku tebuai dalam
mimpi.
Beberapa
jam kemudian…
Di
pagi buta, sekitar jam 03.00am, aku terbangun akibat handphoneku bordering dengan
nyaringnya dan mengganggu tidurku. Aku melihat handphoneku, orang yang
menelepon itu adalah Ela, sahabatku. Dia tidak mungkin telepon di pagi buta
seperti ini kalau bukan ada kepentingan mendesak. Aku memutuskan untuk
mengangkat teleponku.
“Fin,
ini benar-benar gawat…!” serunya di seberang sana. Dari suaranya, aku tahu dia
sedang menghadapi masalah besar.
“kenapa?kenapa?”
“fin…fin…”
Dia tak bisa berbicara dengan baik karena nafasnya tersengal-sengal.
“tarik
nafas panjang dan hembuskan, tenangkan dirimu, bicara pelan-pelan.” Aku
memberinya saran atau lebih bisa disebut sebagai instruksi.
Aku
mendengar dia mengikuti instruksiku. Menarik nafas panjang dan
menghembuskannya. Tenang sejenak, beberapa saat kemudian, dia mulai berbicara
dengan pelan-pelan, “laporan dan data penelitian ilmiah kita hilang.”
Deg.
Kenapa bisa hilang? Yang benar saja, laporan itu telah aku dan Ela buat dengan
susah payah. Dan sekarang, semuanya hilang begitu saja. Aku sebenarnya marah
karena dia tak bisa menjaganya dengan baik. Akan tetapi, aku mencoba untuk
menahan amarahku dan bertanya, “kenapa bisa terjadi?”
“Aku
ngga tahu, Fin. Semuanya ilang gitu aja..” jawabnya.
“ya
udah, nanti kita cari atau kalau tidak kita buat lagi.”
“Fin,
maafin aku, aku ngga bisa jaga sesuatu yang telah kita buat susah payah..”
ucapnya dengan penuh penyesalan.
“udah,
ngga apa-apa.”
***
Aku
berangkat ke sekolah dengan malas. Aku begitu berantakan. Kulit kusam, mata
berkantung hitam seperti panda. Ini terjadi karena aku kurang tidur. Aku hanya
tidur satu jam lebih 15 menit. Setelah Ela meneleponku, aku tidak bisa tidur
lagi karena memikirkan masalah penelitian ilmiah itu.
Di
koridor kelas, aku bertemu dengan Ela. Wajahnya tidak lebih baik dari aku. Dia
juga sama berantakannya denganku. Saat bertemu denganku, dia kembali menunjukan
penyesalanannya. Aku lihat dia benar-benar menyesal telah begitu ceroboh.
Sebenarnya, ini bukan murni kesalahannya. Ini juga salahku, kesalahan kami
bersama. Kami tidak menjaga dengan baik sesuatu yang sangat penting ini.
Aku
mencoba menenangkannya dan menjelaskan kalau semua ini bukan murni salahnya.
Perlahan-lahan, dia mulai membaik dan tenang. Setelah benar-benar tenang, aku
mengajaknya pergi ke kelas bersama. Di tengah perjalanan menuju kelas, aku
berpapasan dengan Rama. Rama, seseorang yang minggu kemarin menyatakan cintanya
padaku tetapi aku menolaknya. Aku memiliki segudang alasan kenapa aku
menolaknya. Akan tetapi, yang paling utama adalah aku tidak memiliki perasaan lebih
padanya selain sebagai teman satu sekolah.
Sikap
Rama begitu dingin padaku. Mungkin, dia tidak terima karena aku menolaknya.
Selama ini dia memang terkenal sebagai Prince Charming yang tidak pernah
ditolak cewek. Jadi, kalau dia bersikap dingin padaku, ini tidak terlalu aneh.
Akan tetapi, ada sesuatu yang menurutku sangat aneh. Rama tersenyum dengan
manis tapi terkesan tidak ikhlas pada gadis yang disampingku, Ela, dan Ela
membalasnya dengan senyum manis yang ceria. Biasanya Rama tidak pernah bersikap
seperti ini pada Ela. Melihat saja kadang ogah-ogahan.
“Pagi,
Ela.” Ucap Rama, dia bahkan menyapa Ela.
“Pagi
juga, Rama.” Ela membalas sapaan Rama.
Aku
menyikut lengan Ela dan menanyakan perihal keanehan Rama. Aku menanyakannya
setelah Rama pergi tentunya. Mana mungkin aku berani bertanya tentang Rama jika
Rama ada di depanku. Dia menjawab pertanyaanku dengan ketus “memang salah dia
menyapaku? Aneh?”. Setelah menjawab pertanyaanku dengan nada yang tidak
mengenakan itu, Ela langsung pergi meninggalkanku. Dia benar-benar aneh. Tadi
raut wajahnya penuh rasa penyesalan tetapi sekarang dia lebih terlihat marah
dan sebal. Dia marah padaku?
Di
kelas, sikap Ela bersikap cuek padaku. Berbeda 180o dari tadi pagi.
Berkali-kali aku berusaha membuatnya tersenyum dan mau berbicara padaku. Namun,
hasilnya nihil. Aku lelah untuk membujuknya lagi. Besok aku akan mencobanya.
***
Siang
harinya, sepulang sekolah, aku menemui Bu Endang, pembina Ekstrakurikuler PIR.
Aku datang tanpa Ela. Dia langsung menghilang sesaat setelah bel panjang
berbunyi. Aku datang ketempat itu untuk meminta perpanjangan waktu.
Perpanjangan waktu untuk menyelesaikan menyelesaikan laporan dan data
penelitian. Seharusnya, hari ini sudah dikumpulkan.
“tunggu
disini, sebentar lagi Bu Endang akan datang.” Ucap salah seorang guru yang juga
mengajar di kelasku, namanya Bu Farida. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Ya,
Finda…” Orang yang aku tunggu-tunggu telah datang dan menyapaku.
Aku
pun menjelaskan maksud kedatanganku menemui Bu Endang. Bu Endang mendengarkanku
dengan baik. Tak lama kemudian, Bu Endang setuju untuk memberi tenggang waktu.
Akan tetapi, hanya dua hari yang beliau berikan untuk kelompokku. Aku tidak
akan menyia-nyiakan kesempatan kedua yang telah diberikan oleh Bu Endang.
“terimakasih,
Bu. Sekali lagi terima kasih…” Ucapku pada Bu Endang. Bu Endang tersenyum
dengan lembut.
***
Berulang
kali aku menelpon Ela. Akan tetapi, dia tidak mengangkatnya. Dia sungguh aneh.
Aku harus ke rumahnya untuk mengerjakan tugas bersama. Aku pun ke rumah sahabatku
itu dengan mengendarai sepeda kesayanganku yang berwarna hijau.
Ada
pemandangan yang cukup menarik saat aku tiba di dekat rumah Ela. Aku melihat
Ela keluar dari sebuah mobil mobil mewah berwarna merah metallic, Ferrari F70.
Di sekolahku, Orang yang memiliki mobil mewah seharga kurang lebih 10 Miliar
itu hanyalah Rama. Ya, mobil itu memang milik Rama. Aku semakin yakin saat aku
melihat Rama keluar dari mobil itu dan berbicara pada Ela.
Bagaimana
mereka bisa sedekat ini? Sungguh aneh dan cukup menarik perhatianku. Cukup
menarik juga untuk diselidiki karena pasti ada ‘sesuatu’ dibalik semua ini.
Akan tetapi, aku tidak mungkin menyelidikinya, tidak mungkin. Ingat, Ela itu
sahabatku. Kalaupun memang benar ada ‘sesuatu’, nanti juga akan terbuka dengan
sendirinya tanpa perlu diselidiki.
Setelah
Rama dan mobilnya itu pergi, aku mendekati Ela. Aku berpura-pura tidak melihat
dia datang bersama Rama. Aku tidak mempedulikannya.
“hi,
La. Kamu kok ngga angkat teleponku?” tanyaku pada Ela.
“Emm
aku..ngga bawa handphone” jawabnya, terdengar kaku.
“ada
kabar bagus buat kita.”
“apa?”
Aku
mencerritakan kabar bahagia tersebut, kesempatan kedua dari Bu Endang. Dia juga
terlihat senang dan mengajakku untuk masuk ke dalam rumahnya. Setelah sampai di
ruang tamu, dia mempersilahkanku duduk. Sementara dia mengambil minuman
untukku, aku mempersiapkan beberapa bahan yang diperlukan.
“ini,
Fin, minumnya..”
“makasih,
La”
Aku
langsung menengguk jus orange yang dibuat oleh Ela. Tenggorokanku yang sangat
kering terasa sejuk saat air jus orange melewati tenggorokanku. Sedari tadi aku
memang haus. Maklumlah, aku mengayuh sepeda dari rumahku sampai ke rumah Ela
yang jaraknya tergolong jauh.
“kita
mulai darimana ya?” tanyaku, Ela hanya diam. Dia malah terlihat melamun. Aku
tidak bisa membaca pikirannya kali ini. Belakangan ini dia memang bersikap
aneh. “Ela..halo halo..” aku mengibas-ibaskan tanganku di depan wajahnya untuk
menyadarkannya dari aktivitas melamunnya.
“eh..ya,
Fin..aa apa..?” tanya Ela padaku dengan gugup. Dia seperti orang yang baru saja
tersadar dari mimpi buruknya.
“La,
apa kamu punya sesuatu yang disembunyikan dariku?” entah mengapa aku bisa
bertanya seperti itu pada Ela.
“tidak.”
Jawabnya singkat dan terlihat tidak wajar. Dia memang jarang berbicara singkat
padaku. Akan tetapi, aku berusaha untuk tidak mempermasalahkannya.
“emm
baiklah..ayo kita lanjutkan.”
“baiklah,
mari kita lanjutkan.”
Aku
dan Ela berkolaborasi untuk melanjutkan penelitiannya bersama-sama. Menyusun
laporan dan berbagai macam data yang telah hilang.
***
Hari
ini adalah hari dimana aku dan Ela serta kelompok lainnya mempresentasikan
hasil penelitian. Jantungku berdegup lebih kencang daripada biasanya. Aku
merasa laporan dan data yang telah kelompokku buat tidak sebaik data pertama
yang telah hilang. Banyak sekali kekurangan karena waktu yang kami miliki
begitu terbatas. Hanya dua hari, sedangkan data yang hilang itu membutuhkan
waktu lebih dari satu bulan.
Kelompok
yang mendapatkan kesempatan pertama untuk presentasi adalah kelompok Rama. Rama
maju kedepan, dia terliat begitu percaya diri saat memasukan flashdisknya ke
dalam laptop milik sekolah lalu membuka slide power point milik kelompoknya,
tentu saja.
Namun,
aku melihat ada keanehan pada slide yang mereka tampilkan. Isinya aneh. Aku
sangat mengenali data yang mereka presentasikan. Data yang mereka tampilkan
sama persis dengan milik kelompokku yang hilang. Tentu saja, aku sangat tidak
terima. Ternyata, Rama yang telah mencuri data kelompokku.
Ku
kepalkan tanganku, geram. Aku ingin sekali melampiaskan amarahku pada orang
itu. Akan tetapi, aku tidak mungkin melakukannya. Aku harus menahan amarahku.
Aku terus menatap Rama tajam saat dia mempresentasikan data yang bukan miliknya
itu. Saat presentasinya berakhir, semua orang yang ada di ruangan itu memberi
tepuk tangan yang meriah. Rama tersenyum dengan bangganya, begitu juga dengan
teman sekelompoknya. Dua orang itu sama saja.
Kini,
tiba saatnya aku dan Ela mempresentasikan hasil kerja kami. Aku harus yakin
presentasi ini berjalan dengan lancar walaupun temanya sama dengan data yang
Rama dan temannya sampaikan. Selama presentasi berlangsung semua orang yang ada
di hadapanku menatap tajam seolah mempertanyakan kok sama? Dalam hal ini mereka
kira aku yang salah. Padahal, seharusnya bukan aku yang salah tapi Rama. Meski
begitu, presentasi tetap berjalan dengan lancar. Walaupun tidak ada tepuk
tangan meriah saat aku dan Ela mengakhiri presentasi kami.
***
Semua
kelompok yang ada di ruang multimedia sudah menyelesaikan presentasi mereka.
Suasana ruang multimedia menjadi sepi, hanya ada aku dan Rama. Rama masih sibuk
memasukan peralatannya ke dalam tas. Disaat itulah aku datang menghampirinya.
“ehm…pakai
cara apa tuh ngambil datanya?” tanyaku pada Rama. Rama mendongakkan kepalanya
untuk melihatku. Posisinya sekarang duduk sedangkan aku berdiri.
“cara
yang tidak pernah terlintas sedikitpun diotakmu.”
Aku
memutar otakku tapi aku tak paham dengan jawabannya. “maksudmu?”
“tanyakan
saja pada sahabatmu.” Jawabnya lagi. Dia menggendong tasnya, lalu berdiri
sebelum akhirnya dia pergi. “oh ya, satu lagi. Aku ngga nyuri data kamu, aku
cuma minta.” Tambahnya sebelum pergi.
***
Keluar
dari ruang multimedia, aku langsung menemui Ela di kelasnya. Dan aku langsung
menanyakan perihal data penelitian. Aku bertanya tanpa berpikir panjang karena
terbawa emosi.
“kamu
ya yang ngasih data itu ke Rama?” tanyaku tanpa basa-basi. Ela tidak menjawab
pertanyaanku. “data itu ngga hilang ‘kan?”
“kamu
nuduh aku?”
“aku
tanya bukan nuduh. Atau mungkin memang kamu yang merasa tertuduh.”
Ela
mengeluarkan beberapa kalimat yang berisi pembelaannya. Entah kenapa dia
bersikeras untuk tidak mengakuinya. Padahal, aku sudah tahu kalau memang dia
berbohong. Aku bukan begitu saja mempercayai orang lain daripada sahabatku.
Akan tetapi, bahasa tubuh Ela memang mengatakan begitu. Dia berbohong.
“baiklah
kalau kamu ngga mau mengakuinya. Tapi, aku udah tahu kok. Aku hanya ingin kamu
jujur, jika kamu masih menganggapku sahabatmu.” aku pasrah.
“iya,
memang aku melakukannya.” Ucap Ela setelah lama membisu.
“tapi,
kenapa?”
“an
interesting offer.”
“maksudnya?”
“kamu
tahu, aku sudah lama menyukai Rama tapi Rama menyukaimu. Sebenarnya, bukan
hanya Rama. Orang yang menyukaimu sebelumnya juga begitu. Aku menyukai mereka
tapi mereka menyukaimu. Aku lelah. Dan hari itu ada sebuah tawaran menarik dan
bodoh dari Rama. Dia mau menuruti apa mauku asalkan aku bersedia memberikan
data-data itu. Aku menerimanya begitu saja, seperti terhipnotis.” Jelas Ela
panjang lebar.
“aku
lega, ternyata kamu masih menganggapku sahabatmu. Kamu sudah berkata jujur.”
Ucapku lantas memeluknya, pelukan sahabat.
“maafkan
aku, La. Aku sudah mengecewakanmu. Menghapus mimpimu untuk ikut lomba PIR tahun
ini.”
“sudahlah.
Ada data itupun belum tentu lolos.”
***
Hari
pengumuman kelompok pemenang yang akan mengikuti lomba PIR mewakili sekolah.
Semua menunggu dengan jantung yang berdegub lebih cepat daripada biasanya.
Mereka semua ingin terpilih tetapi hanya satu pasangan yang berhak ikut.
“saya
umumkan kelompok yang mewakili sekolah kita adalah..” Bu Endang sengaja
menggantungkan kalimatnya. “adalah kelompok Finda dan Ela.” Lanjut Bu Endang.
Aku
tidak percaya kalau namaku disebut. Begitu juga dengan Ela.
“selamat
untuk Finda dan Ela. Untuk yang lain jangan kecewa, masih banyak lomba PIR yang
lain..”
Semua
orang yang ada di ruangan tersebut memberi selamat kepadaku dan Ela. Akan
tetapi, itu tidak termasuk Rama. Rama pergi sesaat setelah pengumuman. Dia
terlihat begitu kecewa. Ya, dia sangat menginginkan kesempatan ini. Akan
tetapi, dia telah berbuat curang. Mungkin, itu juga buah dari kecurangannnya.
Curang belum tentu menang.
***
Aku
berbaring di atas rerumputan taman belakang bersama Ela. Malam ini Ela menginap
di rumahku. Kami berdua tengah menatap bintang-bintang yang sangat indah
menghias langit malam. Beberapa hari terakhir kami mendapat banyak masalah dan
saat ini kami sedang merenungi untuk diambil hikmahnya.
“kau
tahu kenapa kita menang?” tanyaku pada Ela yang tampak tersenyum menatap
langit. Dia sudah kembali menjadi sahabatku yang seperti biasanya.
“karena
kita memang ditakdirkan menang.”
“selain
itu, kita memang sudah berusaha keras dengan jerih payah kita sendiri.”
“benar.”
Dia membenarkan ucapanku. “sekali lagi, aku minta maaf atas kebodohanku.”
“sudahlah,
yang penting jangan diulangi dan kita ambil hikmahnya.”
Ela
tesenyum padaku , aku juga tersenyum padanya. Suasana mulai hening dan kami
terlarut dalam suasana malam.
“kamu
tahu tidak, tenyata Rama ceroboh sekali. Masa kata Bu Endang, dia lupa ganti
nama kita di data yang dia kumpulin.” Kataku, membuka pembicaraan lagi.
“yang
benar?”
“iya,
beneran. Maka dari itu Bu Endang curiga, dan kecurigaan terbukti. Ya.. Rama
ngaku kalau data itu bukan milik kelompoknya.”
“bodoh
sekali dia, sudah susah payah membujukku untuk memberi data itu, eh..dianya
ceroboh gitu..”
“buah
dari kecurangan.”
“benar.”
Langit
malam menjadi saksi kebahagiaanku. Bintang di langit tersenyum melihat aku dan
sahabatku saling menyatu setelah sebuah masalah menerjang kami. Setelah masalah
itu selesai, aku merasa kami memang sudah ditakdirkan untuk bersahabat.
Walaupun diterjang masalah, kami tetap menyatu. Dan, setelah menyelesaikan
masalah, kami jadi semakin kuat.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar