al azmi media

Senin, 02 Februari 2015

Cerpen Sahabatmu

Karya : Yohana Tri Oktavia. Kelas : 7a. Pukul 01.45 am, aku mulai menguap. Aku pun memutuskan untuk tidur. Sebelum tidur, aku menutup jendela kamarku terlebih dahulu. Setelah itu, aku merebahkan badanku di atas ranjang. Dan beberapa menit kemudian aku tebuai dalam
mimpi.


Beberapa jam kemudian…
Di pagi buta, sekitar jam 03.00am, aku terbangun akibat handphoneku bordering dengan nyaringnya dan mengganggu tidurku. Aku melihat handphoneku, orang yang menelepon itu adalah Ela, sahabatku. Dia tidak mungkin telepon di pagi buta seperti ini kalau bukan ada kepentingan mendesak. Aku memutuskan untuk mengangkat teleponku.
“Fin, ini benar-benar gawat…!” serunya di seberang sana. Dari suaranya, aku tahu dia sedang menghadapi masalah besar.
“kenapa?kenapa?”
“fin…fin…” Dia tak bisa berbicara dengan baik karena nafasnya tersengal-sengal.
“tarik nafas panjang dan hembuskan, tenangkan dirimu, bicara pelan-pelan.” Aku memberinya saran atau lebih bisa disebut sebagai instruksi.
Aku mendengar dia mengikuti instruksiku. Menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Tenang sejenak, beberapa saat kemudian, dia mulai berbicara dengan pelan-pelan, “laporan dan data penelitian ilmiah kita hilang.”

Deg. Kenapa bisa hilang? Yang benar saja, laporan itu telah aku dan Ela buat dengan susah payah. Dan sekarang, semuanya hilang begitu saja. Aku sebenarnya marah karena dia tak bisa menjaganya dengan baik. Akan tetapi, aku mencoba untuk menahan amarahku dan bertanya, “kenapa bisa terjadi?”
“Aku ngga tahu, Fin. Semuanya ilang gitu aja..” jawabnya.
“ya udah, nanti kita cari atau kalau tidak kita buat lagi.”
“Fin, maafin aku, aku ngga bisa jaga sesuatu yang telah kita buat susah payah..” ucapnya dengan penuh penyesalan.
“udah, ngga apa-apa.”
***

Aku berangkat ke sekolah dengan malas. Aku begitu berantakan. Kulit kusam, mata berkantung hitam seperti panda. Ini terjadi karena aku kurang tidur. Aku hanya tidur satu jam lebih 15 menit. Setelah Ela meneleponku, aku tidak bisa tidur lagi karena memikirkan masalah penelitian ilmiah itu.

Di koridor kelas, aku bertemu dengan Ela. Wajahnya tidak lebih baik dari aku. Dia juga sama berantakannya denganku. Saat bertemu denganku, dia kembali menunjukan penyesalanannya. Aku lihat dia benar-benar menyesal telah begitu ceroboh. Sebenarnya, ini bukan murni kesalahannya. Ini juga salahku, kesalahan kami bersama. Kami tidak menjaga dengan baik sesuatu yang sangat penting ini.

Aku mencoba menenangkannya dan menjelaskan kalau semua ini bukan murni salahnya. Perlahan-lahan, dia mulai membaik dan tenang. Setelah benar-benar tenang, aku mengajaknya pergi ke kelas bersama. Di tengah perjalanan menuju kelas, aku berpapasan dengan Rama. Rama, seseorang yang minggu kemarin menyatakan cintanya padaku tetapi aku menolaknya. Aku memiliki segudang alasan kenapa aku menolaknya. Akan tetapi, yang paling utama adalah aku tidak memiliki perasaan lebih padanya selain sebagai teman satu sekolah.

Sikap Rama begitu dingin padaku. Mungkin, dia tidak terima karena aku menolaknya. Selama ini dia memang terkenal sebagai Prince Charming yang tidak pernah ditolak cewek. Jadi, kalau dia bersikap dingin padaku, ini tidak terlalu aneh. Akan tetapi, ada sesuatu yang menurutku sangat aneh. Rama tersenyum dengan manis tapi terkesan tidak ikhlas pada gadis yang disampingku, Ela, dan Ela membalasnya dengan senyum manis yang ceria. Biasanya Rama tidak pernah bersikap seperti ini pada Ela. Melihat saja kadang ogah-ogahan.
“Pagi, Ela.” Ucap Rama, dia bahkan menyapa Ela.
“Pagi juga, Rama.” Ela membalas sapaan Rama.
Aku menyikut lengan Ela dan menanyakan perihal keanehan Rama. Aku menanyakannya setelah Rama pergi tentunya. Mana mungkin aku berani bertanya tentang Rama jika Rama ada di depanku. Dia menjawab pertanyaanku dengan ketus “memang salah dia menyapaku? Aneh?”. Setelah menjawab pertanyaanku dengan nada yang tidak mengenakan itu, Ela langsung pergi meninggalkanku. Dia benar-benar aneh. Tadi raut wajahnya penuh rasa penyesalan tetapi sekarang dia lebih terlihat marah dan sebal. Dia marah padaku?
Di kelas, sikap Ela bersikap cuek padaku. Berbeda 180o dari tadi pagi. Berkali-kali aku berusaha membuatnya tersenyum dan mau berbicara padaku. Namun, hasilnya nihil. Aku lelah untuk membujuknya lagi. Besok aku akan mencobanya.
***

Siang harinya, sepulang sekolah, aku menemui Bu Endang, pembina Ekstrakurikuler PIR. Aku datang tanpa Ela. Dia langsung menghilang sesaat setelah bel panjang berbunyi. Aku datang ketempat itu untuk meminta perpanjangan waktu. Perpanjangan waktu untuk menyelesaikan menyelesaikan laporan dan data penelitian. Seharusnya, hari ini sudah dikumpulkan.
“tunggu disini, sebentar lagi Bu Endang akan datang.” Ucap salah seorang guru yang juga mengajar di kelasku, namanya Bu Farida. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Ya, Finda…” Orang yang aku tunggu-tunggu telah datang dan menyapaku.

Aku pun menjelaskan maksud kedatanganku menemui Bu Endang. Bu Endang mendengarkanku dengan baik. Tak lama kemudian, Bu Endang setuju untuk memberi tenggang waktu. Akan tetapi, hanya dua hari yang beliau berikan untuk kelompokku. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua yang telah diberikan oleh Bu Endang.
“terimakasih, Bu. Sekali lagi terima kasih…” Ucapku pada Bu Endang. Bu Endang tersenyum dengan lembut.
***

Berulang kali aku menelpon Ela. Akan tetapi, dia tidak mengangkatnya. Dia sungguh aneh. Aku harus ke rumahnya untuk mengerjakan tugas bersama. Aku pun ke rumah sahabatku itu dengan mengendarai sepeda kesayanganku yang berwarna hijau.

Ada pemandangan yang cukup menarik saat aku tiba di dekat rumah Ela. Aku melihat Ela keluar dari sebuah mobil mobil mewah berwarna merah metallic, Ferrari F70. Di sekolahku, Orang yang memiliki mobil mewah seharga kurang lebih 10 Miliar itu hanyalah Rama. Ya, mobil itu memang milik Rama. Aku semakin yakin saat aku melihat Rama keluar dari mobil itu dan berbicara pada Ela.

Bagaimana mereka bisa sedekat ini? Sungguh aneh dan cukup menarik perhatianku. Cukup menarik juga untuk diselidiki karena pasti ada ‘sesuatu’ dibalik semua ini. Akan tetapi, aku tidak mungkin menyelidikinya, tidak mungkin. Ingat, Ela itu sahabatku. Kalaupun memang benar ada ‘sesuatu’, nanti juga akan terbuka dengan sendirinya tanpa perlu diselidiki.

Setelah Rama dan mobilnya itu pergi, aku mendekati Ela. Aku berpura-pura tidak melihat dia datang bersama Rama. Aku tidak mempedulikannya.
“hi, La. Kamu kok ngga angkat teleponku?” tanyaku pada Ela.
“Emm aku..ngga bawa handphone” jawabnya, terdengar kaku.
“ada kabar bagus buat kita.”
“apa?”

Aku mencerritakan kabar bahagia tersebut, kesempatan kedua dari Bu Endang. Dia juga terlihat senang dan mengajakku untuk masuk ke dalam rumahnya. Setelah sampai di ruang tamu, dia mempersilahkanku duduk. Sementara dia mengambil minuman untukku, aku mempersiapkan beberapa bahan yang diperlukan.
“ini, Fin, minumnya..”
“makasih, La”

Aku langsung menengguk jus orange yang dibuat oleh Ela. Tenggorokanku yang sangat kering terasa sejuk saat air jus orange melewati tenggorokanku. Sedari tadi aku memang haus. Maklumlah, aku mengayuh sepeda dari rumahku sampai ke rumah Ela yang jaraknya tergolong jauh.
“kita mulai darimana ya?” tanyaku, Ela hanya diam. Dia malah terlihat melamun. Aku tidak bisa membaca pikirannya kali ini. Belakangan ini dia memang bersikap aneh. “Ela..halo halo..” aku mengibas-ibaskan tanganku di depan wajahnya untuk menyadarkannya dari aktivitas melamunnya.
“eh..ya, Fin..aa apa..?” tanya Ela padaku dengan gugup. Dia seperti orang yang baru saja tersadar dari mimpi buruknya.
“La, apa kamu punya sesuatu yang disembunyikan dariku?” entah mengapa aku bisa bertanya seperti itu pada Ela.
“tidak.” Jawabnya singkat dan terlihat tidak wajar. Dia memang jarang berbicara singkat padaku. Akan tetapi, aku berusaha untuk tidak mempermasalahkannya.
“emm baiklah..ayo kita lanjutkan.”
“baiklah, mari kita lanjutkan.”
Aku dan Ela berkolaborasi untuk melanjutkan penelitiannya bersama-sama. Menyusun laporan dan berbagai macam data yang telah hilang.
***

Hari ini adalah hari dimana aku dan Ela serta kelompok lainnya mempresentasikan hasil penelitian. Jantungku berdegup lebih kencang daripada biasanya. Aku merasa laporan dan data yang telah kelompokku buat tidak sebaik data pertama yang telah hilang. Banyak sekali kekurangan karena waktu yang kami miliki begitu terbatas. Hanya dua hari, sedangkan data yang hilang itu membutuhkan waktu lebih dari satu bulan.

Kelompok yang mendapatkan kesempatan pertama untuk presentasi adalah kelompok Rama. Rama maju kedepan, dia terliat begitu percaya diri saat memasukan flashdisknya ke dalam laptop milik sekolah lalu membuka slide power point milik kelompoknya, tentu saja.

Namun, aku melihat ada keanehan pada slide yang mereka tampilkan. Isinya aneh. Aku sangat mengenali data yang mereka presentasikan. Data yang mereka tampilkan sama persis dengan milik kelompokku yang hilang. Tentu saja, aku sangat tidak terima. Ternyata, Rama yang telah mencuri data kelompokku.
Ku kepalkan tanganku, geram. Aku ingin sekali melampiaskan amarahku pada orang itu. Akan tetapi, aku tidak mungkin melakukannya. Aku harus menahan amarahku. Aku terus menatap Rama tajam saat dia mempresentasikan data yang bukan miliknya itu. Saat presentasinya berakhir, semua orang yang ada di ruangan itu memberi tepuk tangan yang meriah. Rama tersenyum dengan bangganya, begitu juga dengan teman sekelompoknya. Dua orang itu sama saja.

Kini, tiba saatnya aku dan Ela mempresentasikan hasil kerja kami. Aku harus yakin presentasi ini berjalan dengan lancar walaupun temanya sama dengan data yang Rama dan temannya sampaikan. Selama presentasi berlangsung semua orang yang ada di hadapanku menatap tajam seolah mempertanyakan kok sama? Dalam hal ini mereka kira aku yang salah. Padahal, seharusnya bukan aku yang salah tapi Rama. Meski begitu, presentasi tetap berjalan dengan lancar. Walaupun tidak ada tepuk tangan meriah saat aku dan Ela mengakhiri presentasi kami.
***

Semua kelompok yang ada di ruang multimedia sudah menyelesaikan presentasi mereka. Suasana ruang multimedia menjadi sepi, hanya ada aku dan Rama. Rama masih sibuk memasukan peralatannya ke dalam tas. Disaat itulah aku datang menghampirinya.
“ehm…pakai cara apa tuh ngambil datanya?” tanyaku pada Rama. Rama mendongakkan kepalanya untuk melihatku. Posisinya sekarang duduk sedangkan aku berdiri.
“cara yang tidak pernah terlintas sedikitpun diotakmu.”

Aku memutar otakku tapi aku tak paham dengan jawabannya. “maksudmu?”
“tanyakan saja pada sahabatmu.” Jawabnya lagi. Dia menggendong tasnya, lalu berdiri sebelum akhirnya dia pergi. “oh ya, satu lagi. Aku ngga nyuri data kamu, aku cuma minta.” Tambahnya sebelum pergi.
***

Keluar dari ruang multimedia, aku langsung menemui Ela di kelasnya. Dan aku langsung menanyakan perihal data penelitian. Aku bertanya tanpa berpikir panjang karena terbawa emosi.
“kamu ya yang ngasih data itu ke Rama?” tanyaku tanpa basa-basi. Ela tidak menjawab pertanyaanku. “data itu ngga hilang ‘kan?”
“kamu nuduh aku?”
“aku tanya bukan nuduh. Atau mungkin memang kamu yang merasa tertuduh.”

Ela mengeluarkan beberapa kalimat yang berisi pembelaannya. Entah kenapa dia bersikeras untuk tidak mengakuinya. Padahal, aku sudah tahu kalau memang dia berbohong. Aku bukan begitu saja mempercayai orang lain daripada sahabatku. Akan tetapi, bahasa tubuh Ela memang mengatakan begitu. Dia berbohong.
“baiklah kalau kamu ngga mau mengakuinya. Tapi, aku udah tahu kok. Aku hanya ingin kamu jujur, jika kamu masih menganggapku sahabatmu.” aku pasrah.
“iya, memang aku melakukannya.” Ucap Ela setelah lama membisu.
“tapi, kenapa?”
“an interesting offer.”
“maksudnya?”
“kamu tahu, aku sudah lama menyukai Rama tapi Rama menyukaimu. Sebenarnya, bukan hanya Rama. Orang yang menyukaimu sebelumnya juga begitu. Aku menyukai mereka tapi mereka menyukaimu. Aku lelah. Dan hari itu ada sebuah tawaran menarik dan bodoh dari Rama. Dia mau menuruti apa mauku asalkan aku bersedia memberikan data-data itu. Aku menerimanya begitu saja, seperti terhipnotis.” Jelas Ela panjang lebar.
“aku lega, ternyata kamu masih menganggapku sahabatmu. Kamu sudah berkata jujur.” Ucapku lantas memeluknya, pelukan sahabat.
“maafkan aku, La. Aku sudah mengecewakanmu. Menghapus mimpimu untuk ikut lomba PIR tahun ini.”
“sudahlah. Ada data itupun belum tentu lolos.”
***

Hari pengumuman kelompok pemenang yang akan mengikuti lomba PIR mewakili sekolah. Semua menunggu dengan jantung yang berdegub lebih cepat daripada biasanya. Mereka semua ingin terpilih tetapi hanya satu pasangan yang berhak ikut.
“saya umumkan kelompok yang mewakili sekolah kita adalah..” Bu Endang sengaja menggantungkan kalimatnya. “adalah kelompok Finda dan Ela.” Lanjut Bu Endang.

Aku tidak percaya kalau namaku disebut. Begitu juga dengan Ela.
“selamat untuk Finda dan Ela. Untuk yang lain jangan kecewa, masih banyak lomba PIR yang lain..”
Semua orang yang ada di ruangan tersebut memberi selamat kepadaku dan Ela. Akan tetapi, itu tidak termasuk Rama. Rama pergi sesaat setelah pengumuman. Dia terlihat begitu kecewa. Ya, dia sangat menginginkan kesempatan ini. Akan tetapi, dia telah berbuat curang. Mungkin, itu juga buah dari kecurangannnya. Curang belum tentu menang.
***

Aku berbaring di atas rerumputan taman belakang bersama Ela. Malam ini Ela menginap di rumahku. Kami berdua tengah menatap bintang-bintang yang sangat indah menghias langit malam. Beberapa hari terakhir kami mendapat banyak masalah dan saat ini kami sedang merenungi untuk diambil hikmahnya.
“kau tahu kenapa kita menang?” tanyaku pada Ela yang tampak tersenyum menatap langit. Dia sudah kembali menjadi sahabatku yang seperti biasanya.
“karena kita memang ditakdirkan menang.”
“selain itu, kita memang sudah berusaha keras dengan jerih payah kita sendiri.”
“benar.” Dia membenarkan ucapanku. “sekali lagi, aku minta maaf atas kebodohanku.”
“sudahlah, yang penting jangan diulangi dan kita ambil hikmahnya.”

Ela tesenyum padaku , aku juga tersenyum padanya. Suasana mulai hening dan kami terlarut dalam suasana malam.
“kamu tahu tidak, tenyata Rama ceroboh sekali. Masa kata Bu Endang, dia lupa ganti nama kita di data yang dia kumpulin.” Kataku, membuka pembicaraan lagi.
“yang benar?”
“iya, beneran. Maka dari itu Bu Endang curiga, dan kecurigaan terbukti. Ya.. Rama ngaku kalau data itu bukan milik kelompoknya.”
“bodoh sekali dia, sudah susah payah membujukku untuk memberi data itu, eh..dianya ceroboh gitu..”
“buah dari kecurangan.”
“benar.”
Langit malam menjadi saksi kebahagiaanku. Bintang di langit tersenyum melihat aku dan sahabatku saling menyatu setelah sebuah masalah menerjang kami. Setelah masalah itu selesai, aku merasa kami memang sudah ditakdirkan untuk bersahabat. Walaupun diterjang masalah, kami tetap menyatu. Dan, setelah menyelesaikan masalah, kami jadi semakin kuat.
Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar