al azmi media

Sabtu, 31 Agustus 2013

Pendampingan Psikologi Peserta Didik Akselerasi

Banyak terjadi kesalahan dalam menyikapi peserta didik yang berkategori anak berbakat, anak dengan kecerdasan sangat tinggi. Sejumlah guru memandang oleh karena mereka potensial secara akademik, maka patut diduga mereka pasti berhasil. Anggapan keliru tersebut akan merugikan siswa cerdas tersebut. Alih-alih mengabaikan anak cerdas, perlu siasat pendampingan psikologis yang
tepat yang dilakukan segenap pendidik dan orangtua.



PENDAMPINGAN PSIKOLOGI PESERTA DIDIK AKSELERASI : TINJAUAN PSIKOLOGI KONSTRUKTIVISTIK
 

TRIYONO
Universitas Negeri Malang
23 Agustus 2013
(di sampaikan dalam Sosialisasi Kurikulum 2013)


Banyak terjadi kesalahan dalam menyikapi peserta didik yang berkategori anak berbakat, anak dengan kecerdasan sangat tinggi. Sejumlah guru memandang oleh karena mereka potensial secara akademik, maka patut diduga mereka pasti berhasil. Anggapan keliru tersebut akan merugikan siswa cerdas tersebut. Alih-alih mengabaikan anak cerdas, perlu siasat pendampingan psikologis yang tepat yang dilakukan segenap pendidik dan orangtua.   
Pendampingan psikologis bagi anak cerdas berawal dari asesmen untuk mengenali potensi psikologis mereka yang kuat, pelaksanaan tindak pembelajaran yang mendidik, serta upaya pengembangan, prevensi dan kurasi konseling.

A.  ASESMEN POTENSI PSIKOLOGIS
Siapakah anak berbakat/cerdas yang pantas untuk menjadi peserta didik akselerasi? Untuk mengenali mereka dibutuhkan data yang lengkap yang menggambarkan potensi yang sebenarnya untuk melihat apakah seorang calon siswa tepat dimasukkan ke dalam kelas akselerasi.
Peta informasi berikut penting untuk dikenali. Sekarang marilah kita coba untuk menyusun dunia informasi yang kita usahakan untuk diperoleh. Juga kita perlu meninjau berbagai cara untuk memperoleh berbagai macam informasi. Gambar I menggambarkan struktur informasi yang mungkin diperlukan bilamana kita menangani konseli. jarang semua sel itu dapat diperoleh dengan mudah, karena hambatan waktu atau situasi yang kita alami. Lebih lanjut, kita tidak perlu meneliti semua sumber informasi  seperti nampak dalam gambar, karena sering informasi demikian tidak relevan dan berlebihan. Jadi tujuan “peta informasi” adalah untuk memastikan bahwa (1) kita tidak ketinggalan sesuatu informasi penting yang kita perlukan, dan (2) tidak mencantumkan informasi yang tidak relevan dengan keperluan kita.

 “Peta informasi” seperti yang nampak dalam gambar 1 mempunyai tiga dimensi. Teknik untuk mengumpulkan data digambarkan sepanjang garis dasar, isi psikologis terletak di sisi, dan waktu pengumpulan data divisualisasikan dibela-kang lembaran ini. Setiap sel dalam peta itu mewakili satu jenis informasi yang dikumpulkan dengan teknik tertentu. Misalnya, konselor mungkin mengobser-vasi fakta bahwa konseli berpakaian sebagai seorang laki-laki (sel 3). 
Konselor tidak dapat mengobservasi perasaan konseli secara langsung, tetapi konselor dapat mengobservasi air mata dan ekspresi wajah dan membuat kesimpulan mengenai perasaan konseli (juga sel 3). Sebaliknya konseli juga menceritakan kepada konselor (laporan-sendiri) mengenai kesu-sahannya (perasaan, tercermin dalam sel 2 dalam kisi-kisi itu). Jika ada bukti bahwa konseli dapat dibantu dengan cara mengeta-hui mengenai kemampuan intelektualnya (trait), konselor mungkin memberikan tes (sel 2), minta kepada konseli menunjukkan bagaimana prestasi  yang telah diperoleh di sekolah terdahulu (sel 11) atau mendengar-kan bagaimana luasnya dan ketepatan pilihan kata-kata (sel 11) untuk membuat kesimpulan mengenai intelegensi konseli.
Dalam uraian berikut berturut-turut akan ditinjau pertama tentang dimensi waktu dalam kisi-kisi itu, kemudian mengkaji tentang dimensi teknik dan isi.

1.   Dimensi waktu
Dimasukan dimensi waktu dalam kisi-kisi itu untuk menimbulkan kesadaran akan kemungkinan adanya berbagai bidang informasi. Keputusan memang biasanya bersangkutan dengan masa depan, tetapi informasi yang diperlukan adalah dari waktu sekarang atau yang lalu. Karena testing dapat menggambarkan masa lampau, keya-kinan kini, atau keinginan atau pengharapan masa depan, tetapi bukan waktu yang akan datang itu sendiri. Data faktual dapat dikumpulkan mengenai ciri-ciri emosional yang lalu, kondisi kini, atau konsekuensi perubahan yang diantisipasi dalam kehidupan individu, seperti masuk ke sesuatu pendidikan atau berhenti dari pendidikan.
Dalam hal ini, konselor hendaknya menilai perubahan actual itu yang mungkin terjadi dalam waktu mendatang dan menye-lidiki keyakinan atau pengharapan konseli berkenaan dengan perubahan-perubahan itu. Jadi, meskipun dimensi masa depan tidaklah penting bagi setiap informasi, tetapi perlu diperoleh untuk tujuan mendorong konselor mengeksplorasi sebanyak mungkin sumber-sumber informasi yang dibutuhkan. Jika kita berhenti mencari berbagai informasi terlalu dini, konselor menanggung resiko tidak akan efektif bekerjanya, misalnya gagal.

2.   Dimensi Teknik
Pengumpulan Fakta (Fact Gathering)
Marilah kita sekarang meninjau alat untuk mendapatkan informasi psikologis. Dimulai dari titik paling kiri dari garis dasar peta informasi, yaitu teknik pengumpulan fakta. Dari sumber inilah konselor menggantungkan untuk memperoleh data yang tidak mungkin diperolehnya secara langsung oleh dirinya sendiri. Karena sifatnya sekunder alat penilaian ini dicek untuk mengetahui reliabilitasnya. Perlu kita sadari bahwa semua alat penilaian perlu diketahui tingkat reliabilitasnya. Misalnya mengenai pengumpulan fakta dengan “case history” (riwayat kasus) pada anak yang mendapatkan konseling karena  tingkahlaku yang berma-salah yang mengganggu di rumah. Laporan ini biasanya dikumpulkan konselor dengan tujuan memperoleh data latar belakang. Dalam kaitan ini, konselor  perlu menyedari bahwa kemungkinan adanya bias pada diri mereka yang mencatat informasi dalam riwayat kasus. Bias pada sesuatu jenis informasi jelas akan berpengaruh pada reliabilitas dan juga validitas. Untuk menjaga  keamanannya, konselor harus selalu ber-tanya kepada dirinya. “Apakah informasi itu benar-benar bersangkutan dengan isu atau keputusan yang dibuat? Dari contoh ini menunjukkan betapa pentingnya mengeks-plorasi sumber-sumber informasi alternatif yang relevan dengan konseli, yang konselor tidak dapat memperolehnya secara langsung.

Laporan-laporan Lisan (Self Report)
        Kajian ini berpusat kepada teknik interviu yang mendasarkan kepada infor-masi-sendiri lisan yang diberikan oleh konseli. prosedur ini dapat dilakukan pada interviu terstruktur atau relatif formal atau dapat  pula  dilakukan pada interviu yang lebih informal seperti pada pertemuan pembukaan konse-ling. Misalnya seorang konseli yang datang di ruangan konseling untuk mendiskusikan ketakutannya terhadap kegagalan ujian. Selama pertemuan interviu awal, konselor menggantungkan data yang dilaporkan konseli secara lisan untuk menilai bidang yang mungkin menjadi perhatiannya. Apakah faktanya, dan apakah  konsekuensinya dari kejadian itu? Bagaimana dia memandang fakta dan peristiwa itu dan bagaimana dia memahami makna dari peristiwa itu? Bagaimana tingkat penderitaan dan kecemasan yang dialami, dan bagaimana dia cenderung mengatasi kecemasan yang dialami? Apakah kemungkinan dorongan atau motif yang nampak berpengaruh kepada dirinya?
Pertanyaan ini mencerminkan adanya berbagai bidang isi yaitu fakta, perasaan, kepercayaan, dan trait atau sifat dasar. Setelah memperoleh informasi itu, kemudian konselor harus menentukan informasi mana yang sungguh-sungguh berkaitan dengan isu atau problem. Informasi yang tidak ada kaitannya dapat disingkirkan atau disimpan mungkin ada gunanya bagi isu lain di kemudian hari.
Informasi laporan sendiri lisan adalah salah satu cara yang paling mendasar guna mengumpulkan data yang mutlak diperlukan  untuk melaksanakan langkah-langkah pem-buatan keputusan.

Observasi (Observation)
        Penilaian ini tidak terbatas dengan observasi penglihatan, tetapi sebaiknya melibatkan semau indera. Konselor dapat mengobservasi posisi tubuh dan mende-ngarkan nada suara konseli sebagai bukti adanya rasa cemas yang tertekan. Apakah tangan atau kakinya bergemetar? Apakah pada topik-topik tertentu menunjukkan pera-saan tidak enak, seperti berubah-rubah posisi duduk, bersandar ke belakang atau menggerak-gerakkan kaki? pertanyaan ini memungkinkan tingkahlaku yang diamati dapat menunjukkan bukti laporan-sendiri lisan mengenai kecemasan tidak lulus ujian. Sudah barang tentu, observasi ini dapat menunjukkan tingkah laku reliabilitasnya pernyataan laporan-sendiri lisan mengenai rasa tidak senang atau tisak senang terhadap sesuatu isu.

Tes Psikologis (Psychological Tests)
        Tes telah lama mempunyai peranan penting sebagai alat alternatif untuk mengumpulkan data psikologis. Salah satu keuntungan yang sangat jelas informasi tes untuk proses pembuatan-keputusan ialah kayanya validitas informasi yang menyertai instrumen yang baik. Validitas ini dapat merupakan acuan guna memberikan dasar dalam membantu konseli memperkirakan ke-mungkinan dalam bidang-bidang tertentu. Tes sering dapat memperkirakan yang lebih tepat mengenai ciri-ciri tingkah laku individu. Kita juga memperoleh informasi yang sama antara informasi tes dengan informasi lain yang diperoleh dengan teknik observasi dan lainnya. Misalnya, jika konseli mengatakan kepada konselor  bahwa dia merasa kawatir (laporan-sendiri) dan kita dapat mengobservasi tindakannya dengan cara yang menggambarkan kekawatiran (observasi), dan skor tes dapat menggambarkan kecemasan serupa.

3.   Dimensi Isi
        Bidang isi informasi dapat dikelompok-kan menjadi tiga kategori yang disebut dengan (1) fakta dan perasaan, (2) kepercayaan dan simbol, dan (3) karakteristik  dasar dan keadaan.

Fakta dan Perasaan (Fact and Feeling)
Bidang isi psikologis barangkali yang paoing umum dikenal bagi semua konselor. Konselor selalu berhubungan dengan fakta pada diri konseli dan bagai-mana konseli merasakan atau menyikapi fakta itu. Kita dapat menerima laporan unsur-unusr ini, kita dapat menanyakan tentang unsur-unsur itu, atau menetesnya dengan menggunakan kuesioner. Unsur-unsur dapat berupa fakta masa lampau atau masa sekarang, atau dapat juga mengenai fakta-fakta yang akan datang.
Fakta adalah aspek kondisi atau pengalaman konseli yang dapat dibuktikan dan bisanya dapat diobservasi dari luar. Perasaan adalah bagian dari pengalaman batin dan termasuk sikap, emosi, dan keadaan umum jiwas. Fakta misalnya berupa usia, jenis kelamin, dan pengalaman pekerjaan dan pendidikan di masa lalu.

Kepercayaan dan Simbol (Belief and Symbol)
        Kepercayaan dan simbol adalah dua hal yang sulit untuk diberikan pembatasan, dua hal itu dapat disimpulkan dari cara konseli  mengekpresikan dirinya. Tetapi, mereka adalah sebagai pembentuk tingkah laku dan perasaan yang sangat berpengaruh, dan sering mewakili bagian  informasi realita yang sangat penting.
        Kepercayaan mengenai dirinya dan dunia adalah penting sekali. Mereka terlibat dalam proses pembuatan keputusan dalam bentuk nilai-nilai konseli dan juga berpengaruh terhadap kemungkinan keberhasilan usaha yang dilakukan. Seorang konseli yang percaya bahwa berjualan adalah suatu pekerjaan yang kurang berharga maka tidak mempu-nyai kemungkinan tinggi akan keberhasilan sebagai seorang salesmen, tanpa meman-dang bagimanapun kemampuan dan ciri-ciri kepribadian yang positif.
        Simbol sebagaimana kita gunakan istilah ini menunjuk kepada seperangkat gambaran atau image yang digunakan untuk menyimpulkan sejumlah pengalaman yang besar. Misalnya seorang akan dapat komu-nikasi dengan baik dengan teman-temannya jika dia berhenti menggambarkan dirinya (simbol) sebagai seorang sangat penting. Konseli sering mempunyai sistem yang sangat spesifik yang berpengaruh kepada sikap mereka. Simbol dapat mengatur interaksi-nya dengan dunia luar mengendalikan  pera-saan, tidak toleran--terhadap ketidak sepa-katan, dan rasa tidak adil bila ada seseorang yang mengecewakan keingi-nannya. Jadi simbol seseorang akan besar pengaruhnya terhadap bagaimana orang merasakan dan bertindak pada umumnya.

Karakteristik dasar (traits) dan keadaan (states)
        Secara tradisional dalam wilayah tes psikologis ciri dasar (traits) dan keadaan (states) mempunyai cakupan konsep yang luas. Termasuk dalam konsep ini adalah seperti sesuatu sebagai minat, kepribadian, motivasi, sikap, kebutuhan, prefensi, dan nilai-nilai. “Ciri dasar” relatif stabil atau tetap, sedangkan “keadaan” berfluktuasi sesuai dengan perjalanan waktu. Inteligensi biasa-nya dipandang sebagai ciri dasar, sedang-kan kecemasan dipandang sebagai ciri dasar atau keadaan, bergantung atas dasar fluktuasinya. Karena itu ciri dasar atau keadaan dapat dianggap secara relatif ter-padu pada diri seseorang. Satu hal penting yang harus diingat bahwa keterlibatan ciri dasar hendaknya diperhatikan apakah data itu sungguh-sungguh kita butuhkan untuk mengetahui hubungannya dengan pembuat-an keputusan masa depan. Bagi individu yang membuat keputusan karir, inventori, minat jabatan harus dimasukkan, sebaliknya jika pengambilan keputusan karir tidak dibuat maka inventori minat jabatan tidaklah penting.
        Satu kelompok penting dari ciri dasar (traits) adalah sejumlah kemampuan mental yang dicerminkan dalam tes kecerdasan (Tes Inteligensi), tes perkembangan, tes pemerolehan, tes bakat, dsb. Sebagaimana ciri dasar (traits) pada umumnya, bidang isi psikologis minat bergantung atas keputusan apa yang dibuat dan kriteria untuk keberhasilan. Misalnya, jika tidak memerlukan pembedaan yang halus mengenai performansi intelektual maka kita tidak perlu menggunakan tes inteligensi yang panjang seperti Wechsler Scale. Serupa, jika individu membuat pilihan di antara perguruan tinggi yang akan dimasuki dan telah mendapat nilai rata-rata angka terbaik (“A”) di sekolah menengah atas dan total SAT di atas 1400 (tinggi) maka kita tidak perlu memberikan tes inteligensi lain.
        Percontohan ciri dasar (traits) dan kemampuan adalah serupa dengan bidang isi yang lain sebagaimana telah dikemukakan. Misalnya, data faktual dapat mencerminkan konstruk motivasi tertentu, dan laporan-sendiri lisan dapat memberikan isyarat bagi berbagai dimensi minat dan kepribadian. Observasi penting untuk menilai kemampu-an atau performasi tertentu, dan sudah barang tentu testing terlibat dengan sebagi-an besar bidang-bidang yang telah kita diskusikan.
Atas dasar uraian di atas, pendampingan psikologis bagi siswa-siswa berbakat hareus dikenali dari berbagai sudut pandang dan digunakan serangkaian alat ukur yang tepat. Penyelenggaraan tes psikologis saja tidaklah cukup untuk mengenali potensi siswa yang sebenarnya. Walaupun diyakini bahwa sejumlah akat tes psikologis memiliki tingkat reliabilitas dan validitas yang tinggi. Pengenalan potensi melalui pengumpulan data seperti sejarah prestasi belajar siswa, laporan diri siswa, dan observasi perilaku siswa akan membanti kita memperoleh data yang sebenar-benarnya.

B.  TINDAK PEMBELAJARAN YANG MENDIDIK
Salah satu prinsip paling penting dari psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya memberikan pengetahuan bagi siswa. Siswa harus membangun pengetahuan dalam diri mereka sendiri. Guru dapat memfasilitasi proses ini melalui tindak pembelajaran dengan memberi informasi yang bermakna dan relevan bagi siswa, memberi peluang siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide sendiri dan mengajari siswa untuk menyadari dengan penuh kesadaran untuk menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga (ladders/scaffolding)” yang mengarah pada pemahaman yang lebih tinggi, dan para siswa sendiri harus memanjat tangga tersebut.
Akar dari tindak pembelajaran konstrukstivistik dapat dirunut pada teori belajar Piaget dan Vygotsky. Beberapa ajaran dari tokoh-tokoh tersebut antara lain diterapkannya konsep-konsep pembelajaran kooperatif, pembelajaran melalui penemuan (discovery), self-regulated learning, zona perkembangan proximal, scaffolding, problem solving berbasis proyek.  Catatan penting yang perlu diperhatikan bahwa dalam pembelajaran perlu ditekankan hakekat sosial dari belajar. Siswa belajar melalui kerja bareng dengan orang dewasa atau sebaya yang lebih kapabel. Dalam interaksi tersebut akan tersedia kesempatan bagi siswa-siswa untuk berfikir.
Setiap diri peserta didik memiliki zona perkembangan proximal yang telah kitakenali melalui asesmen. Hasil asesmen akan mampu untuk membuat potret zona perkembangan  proximal setiap peserta didik. Sebaiknya setiap diri siswa bermain dalam zona proximalnya dan ini bisa terjadi jika mereka diasyikkan dengan tugas-tugas yang tidak hanya harus dikerjakan sendiri, tetapi dapat dilakukan dengan asistensi dari teman sebaya atau orang dewasa (guru). Sebagai contoh, jika seorang anak tidak bisa menemukan median dari suatu himpunan bilangan sendiri, tapi bisa melakukannya dengan beberapa bantuan dari gurunya, kemudian mencari median mungkin dalam zona perkembangan proksimalnya. Ketika anak-anak bekerja sama, setiap anak cenderung memiliki rekan tampil di tugas yang diberikan pada tingkat kognitif sedikit lebih tinggi, tepatnya dalam zona perkembangan proksimalnya.
Konsep lain dalam pendekatan konstruktivistik untuk mengajar biasanya menggunakan pembelajaran kooperatif secara ekstensif. Teori ini mengatakan bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami suatu konsep manakala siswa satu dengan lainnya membahas tentang masalah. Pembelajaran yang menggunaan kelompok teman sebaya sebagai model merupakan cara yang tepat untuk berpikir, menjelaskan, dan mengubah kesalahpahaman satu sama lain. Ini merupakan konsep kunci yang harus diperhatikan.
Belajar melalui menemukan (discovery), dimana siswa-siswa didorong untuk sebagaian benar wakrtunya terlibat aktif dalam menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka untuk menemukan prinsip untuk diri mereka sendiri.
Salah satu konsep penting lagi adalah self regulated learning. Siswa yang self-regulated adalah siswa yang memiliki strategi belajar yang efektif dan tepat dimana dan kapan strategi tersebut digunakan. Misalnya,siswa menghadapi masalah yang kompleks, mereka dapat memilahnya ke dalam tahap-tahap yang lebih sederhana. Siswa yang memiliki regulasi diri yang tingi akan memotivasi dirinya untuk belajar da terus belajar sendiri, tidak menunggu dukungan dari orang lain. Jika regulasi diri telah berkembang, maka mereka akan mengalami kepuasan dan mereka akan menjadi siswa yang efektif dan terus akan memotivasi diri untuk belajar.
Konsep scaffolding juga perlu diperhatikan guru dan orang tua dalam mendampingi siswa belajar. Konsep ini merupakan konsep belajar berbantuan.  Kata Vigotsky, konsep  ini merupakan fungsi mental tingkat tinggi. Secara mandiri yang diharapkan mereka mengarahkan ingatan dan perhatian dalam cara-cara yang berarahtujuan misalnya berfikir dalam simbol-simbol. Sebagai konsep belajar berbantaun atau bermediasi, pada mulanya tangga dibuat oleh gureu, namun lambat laun yang diharapkan secara internal siswa harus mampu memnbuat tangga-tangga belajar sendiri.
Pembelajaran penting lainnya bisa dirujuk dari pandangan Dewey, yakni pembelajaran untuk memecahkan masalah berbasis proyek. Pembelajaran ini memberi kesempatan pada siswa untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dalam konteks realistik melalui eksplorasi aktif tentang lingkungan sekitar dan melalui berpartisipasi dalam dunia nyata. Dewey menyebut proyek sebagai pengalaman total dan berkesinambungan. Artinya, sambung antara apa yang dipelajari di sekolah dan di dunia nyata. Bagaimana merancang proyek yang baik, Campbell menyebutkan sembilan petunjuk sebagai berikut.
1.   Identifikasi konsep atau praktek yang penting untuk menentukan proyek.
2.   Libatkan siswa dalam merancang berbagai aspek proyek.
3.   Identifikasi material dan sumber-sumber yang diperlukan seperti anggota masyarakat, orangtua, siswa yang lebih potensial.
4.   Bimbing siswa melalui berbagai tahapan proyek: pendahuluan, implementasi, pemahaman, presentasi, refleksi, asesmen, dan rencana untuk proyek baru.
5.   Seleksi rancangan siswa dan ikuti sampai akhir proyek serta dokumentasikan sebagai gambaran proyek yang akan datang.
6.   Mintalah siswa untuk memikirkan kembali apa yang telah dilakukan selama menyelenggarakan proyek.
7.   Mintalah siswa untuk mempresentasikan hasil proyeknya di hadapan kelompok siswa, masyarakat, dan lain-lain yang mendung atau memerlukan hasil proyek siswa tersebut.
8.   Nilai proyek dari sejumlah perspektif.
9.   Bila siswa sudah menyelesaikan proyekya, maka lakukan tinjauan mengenai: minatnya, kekuatannya, tantangannya, perlunya kerja kolaboratif, untuk proyek yang kemudian

C.  UPAYA PENGEMBANGAN, PREVENSI DAN KURASI KONSELING
Diakui bahwa walaupun pembelajaran telah dirancang bagus, namun persoalan-persoalan perkembangan siswa ada saja terjadi. Untuk itu, bantuan konseling perlu dikembangkan. Pada awalnya perkembangan teori konseling dan psikoterapi selalu berawal dari pandangan tentang hakekat manusia diikuti dengan pandangan perekembangan yang normal dan menyimpang. Konseling dan psikoterapi kontemporer memandang bahwa setiap anak mempunyai masalah untuk dibantgu pemecahannya. Berkembangnya psikologi konstruktivistik berdampak pula pada pelayanan konseling dan psikoterapi. Ada sejumlah konsep pendampingan psikologis konstruktivistik yang berbeda dengan pendekatan konseling sebelumnya.
Jika dalam pembelajaran ada prinsip yang menyatakan siswalah yang membuat pengetahuannya sendiri, maka dalam konselingpun demikian. Siswa yang dilayani dalam konseling tidak dipandang sebagai siswa yang beremasalah, tetapi harus dikenali kebutuhan dan tujuan hidupnya. Berangkat dari pemahaman akan kebutuhan dan tujuan tersebut, siswa dibantu untuk mengukur sampai dimana ketercapaiannya.
Salah satu konseling dan psikoterapi yang berkembang berbasis psikologi konstruktivistik adalah Solution-Focused Brief Therapy (SFBT). Mengapa konseling ini lebih baik dari konseling sebelumnya? Berikut sejumlah alasannya.
1.   Oleh karena SFBT memusatkan pada keberhasilan daripada kegagalan siswa (konseli), membuat SFBT lebih cepat berhasil ketimbang konseling lainnya.
2.   Model ini menggunakan pendekatan sistematis dengan tahapan yang lebih ditentukan oleh konseli. Digunakan dengan berbagai macam masalah, dan hampir selalu berhasil, karena dengan memusatkan pada kesuksesan, konseli lebih tertantang, ketimbang ngurusi masalah.
3.   Dengan memusatkan pada kelebihan, kekuatan daripada  kelemahan memberi insentif bagi usaha-usaha yang berhasil ke depan.
4.   Masalah di sekolah: siswa tidak selalu siap belajar, guru tidak selalu suka menghadapi anak yang underachieving dan atau anak-anak yang berperilaku menyimpang.
5.   Iklim sekolah seringkali membikin stres, banyak anak yang melakukan kekerasan, aktivitas geng, dan perilaku menyimpang lain di lingkungan sekolah, sementara kepala sekolah menuntut “zero” kekerasan, seraya membangun lingkungan belajar yang berpusat pada siswa, untuk meningkatkan prestasi akademik semua siswa.
6.   Demikianpun tuntutan dan tekanan dari berbagai fihak, terutama pemerintah akan perolehan prestasi siswa yang terukur dengan standar tinggi harus dicapai, membuat guru dan siswa lebih tertekan.
Menghadapi hal di muka, sekolah dapat menempatkan solusi, kekuatan, dan kesuksesan sebagai kunci keberhasilan pendidikan di sekolah. Untuk itu, konselor bersama pendidik/guru, perlu mengutamakan solusi yang harus selalu siap diterjadikan di sekolahnya, ketimbang ngurusi masalah.  
Studi efektivitas SFBT lebih jauh di sekolah telah dilakukan banyak peneliti (Franklin, Biever, Moore, Clemons, & Scamardo, 2001; Geil, 1998; LaFountain & Gardner, 1996; Littrell, Malia, & Vanderwood, 1995, De Jong & Berg,2008; de Shazer, Dolan et al., 2006). Oleh karena SFBT menekankan pendekatan konstrusi  sosial dan mendorong keterlibatan guru, orangtua, dan fihak lain yang terkait dengan pendidikan anak, maka ia konsisten dengan ciri-ciri intervensi yang menekankan keberhasilan di sekolah. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa SFBT tepat untuk meningkatkan self-esteem dan sikap-sikap positif anak.
Konseling tradisional fokusnya untuk mengeksplorasi perasaan, pikiran, dan interaksi keduanya, memberikan interpretasi, konfrontasi, dan edukasi pada konseli. Sebaiknya, SFBT membantu konseli membuat visi masa depan ketimbang ngurusi problem untuk dipecahkan. Dilanjutkan dengan mengeksplorasi dan mengatur hubungan exceptions, kekuatan2, dan sumber daya (sources) untuk mengkonstrusi jalan tol khusus bagi konseli untuk menjadikan visinya menjadi sebuah kenyataan.
Dalam menerapkan SFBT, pendidik perlu menguasai sejumlah teknik yang terpadu ke dalam proses konseling. Teknik-teknik yang diterapkan dalam proses tersebut dijelaskan sebagai berikut.

1.      Pre-session change
Mengawali sesi pertama konselor bertanya: “Apakah perubahan-perubahan yang telah terjadi atau mulai terjadi sampai Anda bertemu di sesi ini?  Pertanyaan ini ada 3 kemungkinan jawaban pendidik.
·         Pertama, mereka mengatakan tidak terjadi apa-apa. Dalam kasus ini jawab pendidik (guru atau konselor), misalnya: “Bagaimana aku dapat membantumu saat ini?”, “Apa yang harus diterjadikan sekarang sehingga pertemuan ini berguna.”
·         Kedua, hal-hal apa yang telah dimulai untuk berubah atau mengarah ke yang lebih baik.
·         Ketiga, menanyakan hal-hal yang sama dengan keadaan saat itu.  

2.      Solution-focused goals
Tujuan yang jelas, konkrit, dan khusus merupakan komponen utama SFBT. Konselor dapat menawarkan dari tujuan-tujuan yang sederhana, kecil. Siswa taua  konseli didorong untuk mengemas tujuan-tujuan mereka sebagai perwujudan dari solusi ketimbang untuk menghindari problem. Sebagai contoh, adalah baik untuk menyatakan tujuan, “Kita ingin anak kita berbicara sopan kepada kita” ini lebih baik daripada mengatakan, “Kita lebih suka kalau anak kita tidak mengumpat kepada kita”.

3.      Miracle Question
Beberapa siswa atau konseli mengalami kesulitan mengartikulasikan tujuan, kebanyakan tujuannya kurang berpusat solusi. Untuk itu pertanyaan keajaiban (miracle question) adalah cara untuk menanyakan tujuan konseli melalui mengkomunikasikan perhatian terhadap besarnya masalah, dan pada saat yang sama mengarahkan konseli ke hal-hal yang lebih kecil, tujuan lebih mudah dikelola. Ini juga merupakan cara bagi banyak siswa atau konseli untuk melakukan "latihan virtual" masa depan yang mereka sukai.

4.      Scaling questions
Apakah siswa memberikan tujuan tertentu secara langsung atau melalui pertanyaan keajaiban, intervensi berikutnya yang penting dalam SFBT adalah meminta siswa mengevaluasi kemajuannya sendiri. Pendidik memberikan Skala Pertanyaan Keajaiban: Skala dari 0-10 atau dari 1-10, di mana 0 atau 1 berarti saat perjanjian ketemu pertama dan 10 berarti hari-hari setelah terjadi keajaiban, di mana sekarang? Misalnya, berangkatg dari solusi-solusi yang telah Anda paparkan dimuka, setelah beberapa kali ketemu ini dalam skala 1 – 10 kira-kira Anda berada di posisi angka berapa? Pertanyaan ini penting dan sejalan dengan pandangan tentang zona perkembangan proksimal dan scaffolding yang diurai dalam pembnelajaran. Sebera maju seorang siswa terkait optimalisasi potensinya. 

5.      Constructing solutions and exceptions
Pendidik sebaiknya menghabiskan sebagian besar sesi untuk mendengarkan dengan penuh perhatian untuk membahas solusi sebelumnya, pengecualian, dan tujuan siswa. Ketika semuanya muncul dalam uraian siswa, pendidik menyela mereka dengan antusiasme dan dukungan. Ini membutuhkan berbagai macam keahlian yang berbeda dari yang digunakan dalam konseling tradisional yang berfokus pada masalah. SFBT menekankan pada tanda-tanda kemajuan dan solusi.
 
6.      Coping questions
Jika siswa melaporkan bahwa masalahnya adalah tidak lebih baik, maka  kita kadang mungkin bertanya pertanyaan seperti, "Bagaimana Anda berhasil mencegah agar keadaan ini  tidak semakin buruk?” atau  Bagaimana Anda mengelola cara  mengatasi ini?” 

7.      Experiments and homework assignments
Banyak model tugas antar sesi berbentuk pekerjaan rumah untuk memperkuat perubahan yang dimulai selama konseling. Dalam konseling SFBT sering mengakhiri sesi dengan mengusulkan suatu eksperimen yang mungkin dilakukan siswa.
Dalam memberi tugas kini mengikuti filosofi dasar bahwa apa yang berasal dari siswa lebih baik daripada jika itu datang dari guru atau konselor. Hal ini berlaku untuk sejumlah alasan. Pertama, apa yang biasanya disarankan oleh siswa sendiri, langsung maupun tidak langsung akan mudah akrab. Kedua, siswa biasanya lebih baik menetapkan sendiri apa solusi sebelumnya atau sesuatu yang mereka ingin lakukan. Pekerjaan rumah lebih terkait dengan tujuan mereka sendiri dan solusi. Ketiga, ketika siswa membuat tugas pekerjaan rumah-nya sendiri, mengurangi kecenderungan alami bagi siswa untuk "menolak" intervensi dari luar.
Tahapan dan teknik konseling di atas, tidak saja bermanfaat bagi konselor, tetapi juga guru. Guru dapat mengambil manfaat dari prosedur konseling tersenut untuk membantu siswa.

REFERENSI
Deirdre V. Lovecky. 2004. Different Minds: Gifted Children with AD/HD, Asperger Syndrome, and Other Learning Deficits. London: Jessica Kingsley Publishers.
Denny Borsboom. 2005. Measuring the Mind: Conceptual Issues in Contemporary Psychometrics. New York: Cambridge University Press. 
Gerald Corey. 2011. Theory and Practice of Counseling and Psychotehrapy. 6th ed. Belmont, CA: Brooks/Cole
Philip Carter. 2009. Test and Assess Your Brain Quotient: Discover Your True Intelligence with Tests of Aptitude, Logic, Memory, EQ, Creative and Lateral Thinking. London: Cogan Page.
Roberta M. Milgram. 1991. Counseling Gifted and Talented Children: A Guide for Teachers, Counselors, and Parents. Norwood, NJ: Ablex Publishing Corporation.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar