Banyak terjadi kesalahan dalam menyikapi peserta didik
yang berkategori anak berbakat, anak dengan kecerdasan sangat tinggi. Sejumlah
guru memandang oleh karena mereka potensial secara akademik, maka patut diduga
mereka pasti berhasil. Anggapan keliru tersebut akan merugikan siswa cerdas
tersebut. Alih-alih mengabaikan anak cerdas, perlu siasat pendampingan
psikologis yang
tepat yang dilakukan segenap pendidik dan orangtua.
PENDAMPINGAN
PSIKOLOGI PESERTA DIDIK AKSELERASI : TINJAUAN PSIKOLOGI KONSTRUKTIVISTIK
TRIYONO
Universitas Negeri Malang
23 Agustus 2013
(di sampaikan dalam Sosialisasi Kurikulum 2013)
Banyak terjadi kesalahan dalam menyikapi peserta didik
yang berkategori anak berbakat, anak dengan kecerdasan sangat tinggi. Sejumlah
guru memandang oleh karena mereka potensial secara akademik, maka patut diduga
mereka pasti berhasil. Anggapan keliru tersebut akan merugikan siswa cerdas
tersebut. Alih-alih mengabaikan anak cerdas, perlu siasat pendampingan
psikologis yang tepat yang dilakukan segenap pendidik dan orangtua.
Pendampingan psikologis bagi anak cerdas berawal dari
asesmen untuk mengenali potensi psikologis mereka yang kuat, pelaksanaan tindak
pembelajaran yang mendidik, serta upaya pengembangan, prevensi dan kurasi
konseling.
A.
ASESMEN POTENSI PSIKOLOGIS
Siapakah anak berbakat/cerdas yang pantas untuk menjadi
peserta didik akselerasi? Untuk mengenali mereka dibutuhkan data yang lengkap
yang menggambarkan potensi yang sebenarnya untuk melihat apakah seorang calon
siswa tepat dimasukkan ke dalam kelas akselerasi.
Peta informasi berikut penting untuk dikenali. Sekarang marilah kita coba untuk menyusun dunia informasi
yang kita usahakan untuk diperoleh. Juga kita perlu meninjau berbagai cara
untuk memperoleh berbagai macam informasi. Gambar I menggambarkan struktur informasi yang mungkin
diperlukan bilamana kita menangani konseli. jarang semua sel itu dapat
diperoleh dengan mudah, karena hambatan waktu atau situasi yang kita alami.
Lebih lanjut, kita tidak perlu meneliti semua sumber informasi seperti nampak dalam gambar, karena sering
informasi demikian tidak relevan dan berlebihan. Jadi tujuan “peta informasi”
adalah untuk memastikan bahwa (1) kita tidak ketinggalan sesuatu informasi
penting yang kita perlukan, dan (2) tidak mencantumkan informasi yang tidak
relevan dengan keperluan kita.
“Peta
informasi” seperti yang nampak dalam gambar 1 mempunyai tiga dimensi. Teknik untuk mengumpulkan
data digambarkan sepanjang garis dasar, isi psikologis terletak di sisi, dan
waktu pengumpulan data divisualisasikan dibela-kang lembaran ini. Setiap sel
dalam peta itu mewakili satu jenis informasi yang dikumpulkan dengan teknik
tertentu. Misalnya, konselor mungkin mengobser-vasi fakta bahwa konseli
berpakaian sebagai seorang laki-laki (sel 3).
Konselor tidak dapat
mengobservasi perasaan konseli secara langsung, tetapi konselor dapat
mengobservasi air mata dan ekspresi wajah dan membuat kesimpulan mengenai
perasaan konseli (juga sel 3). Sebaliknya konseli juga menceritakan kepada
konselor (laporan-sendiri) mengenai kesu-sahannya (perasaan, tercermin dalam
sel 2 dalam kisi-kisi itu). Jika ada bukti bahwa konseli dapat dibantu dengan
cara mengeta-hui mengenai kemampuan intelektualnya (trait), konselor mungkin memberikan tes (sel 2), minta kepada konseli
menunjukkan bagaimana prestasi yang
telah diperoleh di sekolah terdahulu (sel 11) atau mendengar-kan bagaimana
luasnya dan ketepatan pilihan kata-kata (sel 11) untuk membuat kesimpulan
mengenai intelegensi konseli.
Dalam uraian berikut
berturut-turut akan ditinjau pertama tentang dimensi waktu dalam kisi-kisi itu,
kemudian mengkaji tentang dimensi teknik dan isi.
1.
Dimensi waktu
Dimasukan dimensi waktu dalam
kisi-kisi itu untuk menimbulkan kesadaran akan kemungkinan adanya berbagai
bidang informasi. Keputusan memang biasanya bersangkutan dengan masa depan,
tetapi informasi yang diperlukan adalah dari waktu sekarang atau yang lalu.
Karena testing dapat menggambarkan masa lampau, keya-kinan kini, atau keinginan
atau pengharapan masa depan, tetapi bukan waktu yang akan datang itu sendiri.
Data faktual dapat dikumpulkan mengenai ciri-ciri emosional yang lalu, kondisi
kini, atau konsekuensi perubahan yang diantisipasi dalam kehidupan individu,
seperti masuk ke sesuatu pendidikan atau berhenti dari pendidikan.
Dalam hal ini, konselor
hendaknya menilai perubahan actual itu yang mungkin terjadi dalam waktu
mendatang dan menye-lidiki keyakinan atau pengharapan konseli berkenaan dengan
perubahan-perubahan itu. Jadi, meskipun dimensi masa depan tidaklah penting
bagi setiap informasi, tetapi perlu diperoleh untuk tujuan mendorong konselor
mengeksplorasi sebanyak mungkin sumber-sumber informasi yang dibutuhkan. Jika
kita berhenti mencari berbagai informasi terlalu dini, konselor menanggung
resiko tidak akan efektif bekerjanya, misalnya gagal.
2.
Dimensi Teknik
Pengumpulan Fakta (Fact
Gathering)
Marilah kita sekarang meninjau alat untuk mendapatkan informasi
psikologis. Dimulai dari titik paling kiri dari garis dasar peta informasi,
yaitu teknik pengumpulan fakta. Dari sumber inilah konselor menggantungkan
untuk memperoleh data yang tidak mungkin diperolehnya secara langsung oleh
dirinya sendiri. Karena sifatnya sekunder alat penilaian ini dicek untuk
mengetahui reliabilitasnya. Perlu kita sadari bahwa semua alat penilaian perlu
diketahui tingkat reliabilitasnya. Misalnya mengenai pengumpulan fakta dengan
“case history” (riwayat kasus) pada anak yang mendapatkan konseling karena tingkahlaku yang berma-salah yang mengganggu
di rumah. Laporan ini biasanya dikumpulkan konselor dengan tujuan memperoleh
data latar belakang. Dalam kaitan ini, konselor
perlu menyedari bahwa kemungkinan adanya bias pada diri mereka yang
mencatat informasi dalam riwayat kasus. Bias pada sesuatu jenis informasi jelas
akan berpengaruh pada reliabilitas dan juga validitas. Untuk menjaga keamanannya, konselor harus selalu ber-tanya
kepada dirinya. “Apakah informasi itu benar-benar bersangkutan dengan isu atau
keputusan yang dibuat? Dari contoh ini menunjukkan
betapa pentingnya mengeks-plorasi sumber-sumber informasi alternatif yang
relevan dengan konseli, yang konselor tidak dapat memperolehnya secara
langsung.
Laporan-laporan Lisan (Self Report)
Kajian ini berpusat kepada teknik interviu yang mendasarkan
kepada infor-masi-sendiri lisan yang diberikan oleh konseli. prosedur ini dapat
dilakukan pada interviu terstruktur atau relatif formal atau dapat pula
dilakukan pada interviu yang lebih informal seperti pada pertemuan
pembukaan konse-ling. Misalnya seorang konseli yang datang di ruangan konseling
untuk mendiskusikan ketakutannya terhadap kegagalan ujian. Selama pertemuan
interviu awal, konselor menggantungkan data yang dilaporkan konseli secara
lisan untuk menilai bidang yang mungkin menjadi perhatiannya. Apakah faktanya,
dan apakah konsekuensinya dari kejadian
itu? Bagaimana dia memandang fakta dan peristiwa itu dan bagaimana dia memahami
makna dari peristiwa itu? Bagaimana tingkat penderitaan dan kecemasan yang
dialami, dan bagaimana dia cenderung mengatasi kecemasan yang dialami? Apakah
kemungkinan dorongan atau motif yang nampak berpengaruh kepada dirinya?
Pertanyaan ini mencerminkan
adanya berbagai bidang isi yaitu fakta, perasaan, kepercayaan, dan trait atau
sifat dasar. Setelah memperoleh informasi itu, kemudian konselor harus
menentukan informasi mana yang sungguh-sungguh berkaitan dengan isu atau problem.
Informasi yang tidak ada kaitannya dapat disingkirkan atau disimpan mungkin ada
gunanya bagi isu lain di kemudian hari.
Informasi laporan sendiri
lisan adalah salah satu cara yang paling mendasar guna mengumpulkan data yang
mutlak diperlukan untuk melaksanakan
langkah-langkah pem-buatan keputusan.
Observasi (Observation)
Penilaian ini tidak terbatas dengan observasi penglihatan,
tetapi sebaiknya melibatkan semau indera. Konselor dapat mengobservasi posisi
tubuh dan mende-ngarkan nada suara konseli sebagai bukti adanya rasa cemas yang
tertekan. Apakah tangan atau kakinya bergemetar? Apakah pada topik-topik
tertentu menunjukkan pera-saan tidak enak, seperti berubah-rubah posisi duduk,
bersandar ke belakang atau menggerak-gerakkan kaki? pertanyaan ini memungkinkan
tingkahlaku yang diamati dapat menunjukkan bukti laporan-sendiri lisan mengenai
kecemasan tidak lulus ujian. Sudah barang tentu, observasi ini dapat
menunjukkan tingkah laku reliabilitasnya pernyataan laporan-sendiri lisan
mengenai rasa tidak senang atau tisak senang terhadap sesuatu isu.
Tes Psikologis (Psychological
Tests)
Tes telah lama mempunyai
peranan penting sebagai alat alternatif untuk mengumpulkan data psikologis.
Salah satu keuntungan yang sangat jelas informasi tes untuk proses
pembuatan-keputusan ialah kayanya validitas informasi yang menyertai instrumen
yang baik. Validitas ini dapat merupakan acuan guna memberikan dasar dalam
membantu konseli memperkirakan ke-mungkinan dalam bidang-bidang tertentu. Tes
sering dapat memperkirakan yang lebih tepat mengenai ciri-ciri tingkah laku
individu. Kita juga memperoleh informasi yang sama antara informasi tes dengan
informasi lain yang diperoleh dengan teknik observasi dan lainnya. Misalnya,
jika konseli mengatakan kepada konselor
bahwa dia merasa kawatir (laporan-sendiri) dan kita dapat mengobservasi
tindakannya dengan cara yang menggambarkan kekawatiran (observasi), dan skor
tes dapat menggambarkan kecemasan serupa.
3.
Dimensi Isi
Bidang isi informasi dapat
dikelompok-kan menjadi tiga kategori yang disebut dengan (1) fakta dan
perasaan, (2) kepercayaan dan simbol, dan (3) karakteristik dasar dan keadaan.
Fakta dan Perasaan (Fact
and Feeling)
Bidang isi psikologis barangkali yang paoing umum
dikenal bagi semua konselor. Konselor selalu berhubungan dengan fakta pada diri
konseli dan bagai-mana konseli merasakan atau menyikapi fakta itu. Kita dapat
menerima laporan unsur-unusr ini, kita dapat menanyakan tentang unsur-unsur
itu, atau menetesnya dengan menggunakan kuesioner. Unsur-unsur dapat berupa
fakta masa lampau atau masa sekarang, atau dapat juga mengenai fakta-fakta yang
akan datang.
Fakta adalah aspek kondisi
atau pengalaman konseli yang dapat dibuktikan dan bisanya dapat diobservasi
dari luar. Perasaan adalah bagian dari pengalaman batin dan termasuk sikap,
emosi, dan keadaan umum jiwas. Fakta misalnya berupa usia, jenis kelamin, dan
pengalaman pekerjaan dan pendidikan di masa lalu.
Kepercayaan dan Simbol (Belief and Symbol)
Kepercayaan dan simbol adalah dua hal yang sulit untuk
diberikan pembatasan, dua hal itu dapat disimpulkan dari cara konseli mengekpresikan dirinya. Tetapi, mereka adalah
sebagai pembentuk tingkah laku dan perasaan yang sangat berpengaruh, dan sering
mewakili bagian informasi realita yang
sangat penting.
Kepercayaan mengenai dirinya dan dunia adalah penting sekali.
Mereka terlibat dalam proses pembuatan keputusan dalam bentuk nilai-nilai konseli
dan juga berpengaruh terhadap kemungkinan keberhasilan usaha yang dilakukan.
Seorang konseli yang percaya bahwa berjualan adalah suatu pekerjaan yang kurang
berharga maka tidak mempu-nyai kemungkinan tinggi akan keberhasilan sebagai
seorang salesmen, tanpa meman-dang bagimanapun kemampuan dan ciri-ciri
kepribadian yang positif.
Simbol sebagaimana kita gunakan istilah ini menunjuk kepada
seperangkat gambaran atau image yang digunakan untuk menyimpulkan sejumlah
pengalaman yang besar. Misalnya seorang akan dapat komu-nikasi dengan baik
dengan teman-temannya jika dia berhenti menggambarkan dirinya (simbol) sebagai
seorang sangat penting. Konseli sering mempunyai sistem yang sangat spesifik
yang berpengaruh kepada sikap mereka. Simbol dapat mengatur interaksi-nya
dengan dunia luar mengendalikan
pera-saan, tidak toleran--terhadap ketidak sepa-katan, dan rasa tidak
adil bila ada seseorang yang mengecewakan keingi-nannya. Jadi simbol seseorang
akan besar pengaruhnya terhadap bagaimana orang merasakan dan bertindak pada
umumnya.
Karakteristik dasar (traits)
dan keadaan (states)
Secara tradisional dalam wilayah tes psikologis ciri dasar (traits) dan keadaan (states) mempunyai
cakupan konsep yang luas. Termasuk dalam konsep ini adalah seperti sesuatu
sebagai minat, kepribadian, motivasi, sikap, kebutuhan, prefensi, dan
nilai-nilai. “Ciri dasar” relatif stabil atau tetap, sedangkan “keadaan”
berfluktuasi sesuai dengan perjalanan waktu. Inteligensi biasa-nya dipandang
sebagai ciri dasar, sedang-kan kecemasan dipandang sebagai ciri dasar atau
keadaan, bergantung atas dasar fluktuasinya. Karena itu ciri dasar atau keadaan
dapat dianggap secara relatif ter-padu pada diri seseorang. Satu hal penting
yang harus diingat bahwa keterlibatan ciri dasar hendaknya diperhatikan apakah
data itu sungguh-sungguh kita butuhkan untuk mengetahui hubungannya dengan
pembuat-an keputusan masa depan. Bagi individu yang membuat keputusan karir,
inventori, minat jabatan harus dimasukkan, sebaliknya jika pengambilan
keputusan karir tidak dibuat maka inventori minat jabatan tidaklah penting.
Satu kelompok penting dari ciri dasar (traits) adalah sejumlah kemampuan mental yang dicerminkan dalam tes
kecerdasan (Tes Inteligensi), tes perkembangan, tes pemerolehan, tes bakat,
dsb. Sebagaimana ciri dasar (traits)
pada umumnya, bidang isi psikologis minat bergantung atas keputusan apa yang
dibuat dan kriteria untuk keberhasilan. Misalnya, jika tidak memerlukan
pembedaan yang halus mengenai performansi intelektual maka kita tidak perlu
menggunakan tes inteligensi yang panjang seperti Wechsler Scale. Serupa, jika
individu membuat pilihan di antara perguruan tinggi yang akan dimasuki dan
telah mendapat nilai rata-rata angka terbaik (“A”) di sekolah menengah atas dan
total SAT di atas 1400 (tinggi) maka kita tidak perlu memberikan tes inteligensi
lain.
Percontohan ciri dasar (traits)
dan kemampuan adalah serupa dengan bidang isi yang lain sebagaimana telah
dikemukakan. Misalnya, data faktual dapat mencerminkan konstruk motivasi
tertentu, dan laporan-sendiri lisan dapat memberikan isyarat bagi berbagai
dimensi minat dan kepribadian. Observasi penting untuk menilai kemampu-an atau
performasi tertentu, dan sudah barang tentu testing terlibat dengan sebagi-an
besar bidang-bidang yang telah kita diskusikan.
Atas dasar uraian di atas, pendampingan psikologis bagi
siswa-siswa berbakat hareus dikenali dari berbagai sudut pandang dan digunakan
serangkaian alat ukur yang tepat. Penyelenggaraan tes psikologis saja tidaklah
cukup untuk mengenali potensi siswa yang sebenarnya. Walaupun diyakini bahwa
sejumlah akat tes psikologis memiliki tingkat reliabilitas dan validitas yang
tinggi. Pengenalan potensi melalui pengumpulan data seperti sejarah prestasi belajar
siswa, laporan diri siswa, dan observasi perilaku siswa akan membanti kita
memperoleh data yang sebenar-benarnya.
B.
TINDAK PEMBELAJARAN YANG MENDIDIK
Salah
satu prinsip paling penting dari psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya memberikan pengetahuan bagi siswa. Siswa harus
membangun pengetahuan dalam diri mereka sendiri. Guru dapat memfasilitasi
proses ini melalui tindak
pembelajaran dengan memberi
informasi yang bermakna dan relevan bagi siswa,
memberi peluang siswa
untuk menemukan atau menerapkan
ide-ide sendiri dan mengajari
siswa
untuk menyadari dengan penuh kesadaran
untuk menggunakan
strategi
mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan “tangga (ladders/scaffolding)”
yang
mengarah pada
pemahaman yang lebih tinggi, dan para siswa sendiri harus
memanjat tangga tersebut.
Akar dari tindak pembelajaran konstrukstivistik dapat
dirunut pada teori belajar Piaget dan Vygotsky. Beberapa ajaran dari tokoh-tokoh
tersebut antara lain diterapkannya konsep-konsep pembelajaran kooperatif,
pembelajaran melalui penemuan (discovery), self-regulated learning, zona
perkembangan proximal, scaffolding, problem solving berbasis proyek. Catatan penting yang perlu diperhatikan bahwa
dalam pembelajaran perlu ditekankan hakekat sosial dari belajar. Siswa belajar
melalui kerja bareng dengan orang dewasa atau sebaya yang lebih kapabel. Dalam
interaksi tersebut akan tersedia kesempatan bagi siswa-siswa untuk berfikir.
Setiap diri peserta didik memiliki zona perkembangan
proximal yang telah kitakenali melalui asesmen. Hasil asesmen akan mampu untuk
membuat potret zona perkembangan
proximal setiap peserta didik. Sebaiknya setiap diri siswa bermain dalam
zona proximalnya dan ini bisa terjadi jika mereka diasyikkan dengan tugas-tugas
yang tidak hanya harus dikerjakan sendiri, tetapi dapat dilakukan dengan
asistensi dari teman sebaya atau orang dewasa (guru). Sebagai
contoh, jika seorang anak tidak bisa menemukan median dari suatu himpunan bilangan sendiri, tapi bisa melakukannya
dengan beberapa bantuan dari gurunya, kemudian mencari median mungkin dalam zona perkembangan proksimalnya. Ketika anak-anak bekerja sama,
setiap anak cenderung memiliki rekan tampil di tugas yang diberikan pada tingkat
kognitif sedikit lebih tinggi, tepatnya dalam zona perkembangan
proksimalnya.
Konsep lain dalam pendekatan konstruktivistik
untuk mengajar biasanya menggunakan pembelajaran
kooperatif secara ekstensif. Teori ini mengatakan bahwa siswa
akan lebih mudah menemukan dan
memahami suatu konsep manakala siswa satu dengan
lainnya membahas tentang masalah. Pembelajaran yang menggunaan kelompok teman
sebaya sebagai model merupakan cara yang tepat untuk berpikir,
menjelaskan, dan mengubah kesalahpahaman satu sama
lain. Ini merupakan konsep kunci yang harus diperhatikan.
Belajar melalui menemukan (discovery), dimana siswa-siswa
didorong untuk sebagaian benar wakrtunya terlibat aktif dalam menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa
untuk memiliki
pengalaman dan
melakukan percobaan yang memungkinkan mereka untuk menemukan
prinsip untuk diri mereka sendiri.
Salah satu konsep penting lagi adalah self regulated
learning. Siswa yang self-regulated adalah siswa yang memiliki strategi belajar
yang efektif dan tepat dimana dan kapan strategi tersebut digunakan.
Misalnya,siswa menghadapi masalah yang kompleks, mereka dapat memilahnya ke
dalam tahap-tahap yang lebih sederhana. Siswa yang memiliki regulasi diri yang
tingi akan memotivasi dirinya untuk belajar da terus belajar sendiri, tidak
menunggu dukungan dari orang lain. Jika regulasi diri telah berkembang, maka
mereka akan mengalami kepuasan dan mereka akan menjadi siswa yang efektif dan
terus akan memotivasi diri untuk belajar.
Konsep scaffolding juga perlu diperhatikan guru dan orang
tua dalam mendampingi siswa belajar. Konsep ini merupakan konsep belajar
berbantuan. Kata Vigotsky, konsep ini merupakan fungsi mental tingkat tinggi.
Secara mandiri yang diharapkan mereka mengarahkan ingatan dan perhatian dalam
cara-cara yang berarahtujuan misalnya berfikir dalam simbol-simbol. Sebagai
konsep belajar berbantaun atau bermediasi, pada mulanya tangga dibuat oleh
gureu, namun lambat laun yang diharapkan secara internal siswa harus mampu
memnbuat tangga-tangga belajar sendiri.
Pembelajaran penting lainnya bisa dirujuk dari pandangan
Dewey, yakni pembelajaran untuk memecahkan masalah berbasis proyek.
Pembelajaran ini memberi kesempatan pada siswa untuk menguasai pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh dalam konteks realistik melalui eksplorasi aktif
tentang lingkungan sekitar dan melalui berpartisipasi dalam dunia nyata. Dewey menyebut proyek
sebagai pengalaman total dan berkesinambungan. Artinya, sambung antara apa yang
dipelajari di sekolah dan di dunia nyata. Bagaimana merancang
proyek yang baik, Campbell menyebutkan sembilan petunjuk sebagai
berikut.
1.
Identifikasi konsep
atau praktek yang penting untuk menentukan proyek.
2.
Libatkan siswa
dalam merancang berbagai aspek proyek.
3.
Identifikasi
material dan sumber-sumber yang diperlukan seperti anggota masyarakat,
orangtua, siswa yang lebih potensial.
4.
Bimbing siswa
melalui berbagai tahapan proyek: pendahuluan, implementasi, pemahaman,
presentasi, refleksi, asesmen, dan rencana untuk proyek baru.
5.
Seleksi rancangan
siswa dan ikuti sampai akhir proyek serta dokumentasikan sebagai gambaran
proyek yang akan datang.
6.
Mintalah siswa
untuk memikirkan kembali apa yang telah dilakukan selama menyelenggarakan
proyek.
7.
Mintalah siswa
untuk mempresentasikan hasil proyeknya di hadapan kelompok siswa, masyarakat,
dan lain-lain yang mendung atau memerlukan hasil proyek siswa tersebut.
8.
Nilai proyek dari sejumlah
perspektif.
9. Bila
siswa sudah menyelesaikan proyekya, maka lakukan tinjauan mengenai: minatnya,
kekuatannya, tantangannya, perlunya kerja kolaboratif, untuk proyek yang
kemudian
C.
UPAYA PENGEMBANGAN, PREVENSI DAN KURASI KONSELING
Diakui bahwa walaupun pembelajaran telah dirancang bagus,
namun persoalan-persoalan perkembangan siswa ada saja terjadi. Untuk itu,
bantuan konseling perlu dikembangkan. Pada awalnya perkembangan teori konseling
dan psikoterapi selalu berawal dari pandangan tentang hakekat manusia diikuti
dengan pandangan perekembangan yang normal dan menyimpang. Konseling dan
psikoterapi kontemporer memandang bahwa setiap anak mempunyai masalah untuk
dibantgu pemecahannya. Berkembangnya psikologi konstruktivistik berdampak pula
pada pelayanan konseling dan psikoterapi. Ada sejumlah konsep pendampingan
psikologis konstruktivistik yang berbeda dengan pendekatan konseling
sebelumnya.
Jika dalam pembelajaran ada prinsip yang menyatakan
siswalah yang membuat pengetahuannya sendiri, maka dalam konselingpun demikian.
Siswa yang dilayani dalam konseling tidak dipandang sebagai siswa yang
beremasalah, tetapi harus dikenali kebutuhan dan tujuan hidupnya. Berangkat
dari pemahaman akan kebutuhan dan tujuan tersebut, siswa dibantu untuk mengukur
sampai dimana ketercapaiannya.
Salah satu konseling dan psikoterapi yang berkembang
berbasis psikologi konstruktivistik adalah Solution-Focused Brief Therapy
(SFBT). Mengapa konseling ini lebih baik dari konseling sebelumnya? Berikut
sejumlah alasannya.
1. Oleh karena SFBT memusatkan pada keberhasilan daripada kegagalan siswa (konseli), membuat
SFBT lebih cepat berhasil ketimbang konseling lainnya.
2. Model ini menggunakan pendekatan sistematis dengan tahapan yang lebih
ditentukan oleh konseli. Digunakan dengan berbagai macam masalah, dan hampir
selalu berhasil, karena dengan memusatkan pada kesuksesan, konseli lebih
tertantang, ketimbang ngurusi masalah.
3. Dengan memusatkan pada kelebihan, kekuatan daripada kelemahan memberi insentif bagi usaha-usaha
yang berhasil ke depan.
4. Masalah di sekolah: siswa tidak selalu siap belajar, guru
tidak selalu suka menghadapi anak yang underachieving dan atau anak-anak yang
berperilaku menyimpang.
5. Iklim sekolah seringkali membikin stres, banyak anak yang
melakukan kekerasan, aktivitas geng, dan perilaku menyimpang lain di lingkungan
sekolah, sementara kepala sekolah menuntut “zero” kekerasan, seraya membangun
lingkungan belajar yang berpusat pada siswa, untuk meningkatkan prestasi
akademik semua siswa.
6. Demikianpun tuntutan dan tekanan dari berbagai fihak, terutama
pemerintah akan perolehan prestasi siswa yang terukur dengan standar tinggi
harus dicapai, membuat guru dan siswa lebih tertekan.
Menghadapi hal di muka, sekolah dapat menempatkan solusi, kekuatan, dan
kesuksesan sebagai kunci keberhasilan pendidikan di sekolah. Untuk itu,
konselor bersama pendidik/guru, perlu mengutamakan solusi yang harus selalu siap
diterjadikan di sekolahnya, ketimbang ngurusi masalah.
Studi efektivitas SFBT lebih jauh di sekolah telah dilakukan banyak
peneliti (Franklin, Biever, Moore, Clemons, & Scamardo, 2001; Geil, 1998;
LaFountain & Gardner, 1996; Littrell, Malia, & Vanderwood, 1995, De Jong
& Berg,2008; de Shazer, Dolan et al., 2006). Oleh karena SFBT menekankan
pendekatan konstrusi sosial dan
mendorong keterlibatan guru, orangtua, dan fihak lain yang terkait dengan
pendidikan anak, maka ia konsisten dengan ciri-ciri intervensi yang menekankan
keberhasilan di sekolah. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa SFBT tepat
untuk meningkatkan self-esteem dan sikap-sikap positif anak.
Konseling tradisional fokusnya untuk mengeksplorasi perasaan, pikiran,
dan interaksi keduanya, memberikan interpretasi, konfrontasi, dan edukasi pada
konseli. Sebaiknya, SFBT membantu konseli membuat visi masa depan
ketimbang ngurusi problem untuk dipecahkan. Dilanjutkan dengan mengeksplorasi
dan mengatur hubungan exceptions, kekuatan2, dan sumber daya (sources) untuk
mengkonstrusi jalan tol khusus bagi konseli untuk menjadikan visinya menjadi
sebuah kenyataan.
Dalam menerapkan SFBT, pendidik perlu menguasai sejumlah
teknik yang terpadu ke dalam proses konseling. Teknik-teknik yang diterapkan
dalam proses tersebut dijelaskan sebagai berikut.
1.
Pre-session change
Mengawali
sesi pertama konselor bertanya: “Apakah perubahan-perubahan yang telah
terjadi atau mulai terjadi sampai Anda bertemu di sesi ini? Pertanyaan ini ada 3 kemungkinan jawaban
pendidik.
·
Pertama, mereka
mengatakan tidak terjadi apa-apa. Dalam kasus ini jawab pendidik (guru
atau konselor), misalnya: “Bagaimana aku dapat membantumu saat ini?”, “Apa
yang harus diterjadikan sekarang sehingga pertemuan ini berguna.”
·
Kedua, hal-hal apa yang
telah dimulai untuk berubah atau mengarah ke yang lebih baik.
·
Ketiga, menanyakan
hal-hal yang sama dengan keadaan saat itu.
2.
Solution-focused goals
Tujuan yang
jelas, konkrit, dan khusus merupakan komponen utama SFBT. Konselor dapat
menawarkan dari tujuan-tujuan yang sederhana, kecil. Siswa
taua konseli didorong untuk mengemas
tujuan-tujuan mereka sebagai perwujudan dari solusi ketimbang untuk
menghindari problem. Sebagai contoh, adalah baik untuk menyatakan tujuan, “Kita
ingin anak kita berbicara sopan kepada kita” ini lebih baik daripada
mengatakan, “Kita lebih suka kalau anak kita tidak mengumpat kepada kita”.
3. Miracle Question
Beberapa siswa
atau konseli mengalami kesulitan mengartikulasikan tujuan, kebanyakan
tujuannya kurang berpusat solusi. Untuk itu pertanyaan keajaiban (miracle question) adalah
cara untuk menanyakan tujuan konseli melalui mengkomunikasikan perhatian
terhadap besarnya masalah, dan pada saat yang sama mengarahkan konseli ke hal-hal
yang lebih kecil, tujuan lebih mudah dikelola. Ini juga merupakan cara bagi
banyak siswa atau konseli untuk melakukan "latihan virtual" masa depan
yang mereka sukai.
4. Scaling questions
Apakah siswa
memberikan tujuan tertentu secara langsung atau melalui pertanyaan keajaiban,
intervensi berikutnya yang penting dalam SFBT adalah meminta siswa mengevaluasi kemajuannya
sendiri. Pendidik memberikan Skala Pertanyaan Keajaiban: Skala dari 0-10 atau
dari 1-10, di mana 0 atau 1 berarti saat perjanjian ketemu pertama dan 10
berarti hari-hari setelah terjadi keajaiban, di mana sekarang? Misalnya, berangkatg
dari solusi-solusi yang telah Anda paparkan dimuka, setelah beberapa kali
ketemu ini dalam skala 1 – 10 kira-kira Anda berada di posisi angka berapa?
Pertanyaan ini penting dan sejalan dengan pandangan tentang zona perkembangan
proksimal dan scaffolding yang diurai dalam pembnelajaran. Sebera maju seorang
siswa terkait optimalisasi potensinya.
5.
Constructing solutions and
exceptions
Pendidik
sebaiknya menghabiskan sebagian besar sesi untuk mendengarkan dengan penuh perhatian untuk membahas solusi
sebelumnya, pengecualian, dan tujuan siswa. Ketika semuanya
muncul dalam uraian siswa, pendidik menyela mereka dengan antusiasme dan
dukungan. Ini membutuhkan berbagai macam keahlian yang berbeda dari yang
digunakan dalam konseling tradisional yang berfokus pada masalah. SFBT
menekankan pada tanda-tanda kemajuan dan solusi.
6.
Coping questions
Jika siswa
melaporkan bahwa masalahnya adalah tidak lebih baik, maka kita kadang mungkin bertanya pertanyaan
seperti, "Bagaimana Anda berhasil mencegah agar keadaan ini tidak semakin buruk?” atau “Bagaimana Anda mengelola cara mengatasi ini?”
7.
Experiments and homework
assignments
Banyak model
tugas antar sesi berbentuk pekerjaan rumah untuk memperkuat perubahan yang
dimulai selama konseling. Dalam konseling SFBT sering mengakhiri sesi dengan
mengusulkan suatu eksperimen yang mungkin dilakukan siswa.
Dalam
memberi tugas kini mengikuti filosofi dasar bahwa apa yang berasal dari siswa
lebih baik daripada jika itu datang dari guru atau konselor. Hal ini
berlaku untuk sejumlah alasan. Pertama, apa yang biasanya disarankan
oleh siswa sendiri, langsung maupun tidak langsung akan mudah akrab. Kedua, siswa biasanya
lebih baik menetapkan sendiri apa solusi sebelumnya atau sesuatu yang mereka ingin
lakukan. Pekerjaan rumah lebih terkait dengan tujuan mereka
sendiri dan solusi. Ketiga, ketika siswa membuat
tugas pekerjaan rumah-nya sendiri, mengurangi kecenderungan alami bagi siswa untuk
"menolak" intervensi dari luar.
Tahapan dan teknik konseling di atas, tidak saja
bermanfaat bagi konselor, tetapi juga guru. Guru dapat mengambil manfaat dari
prosedur konseling tersenut untuk membantu siswa.
REFERENSI
Deirdre V. Lovecky. 2004. Different Minds: Gifted Children with AD/HD,
Asperger Syndrome, and Other Learning Deficits. London: Jessica Kingsley Publishers.
Denny Borsboom. 2005. Measuring
the Mind: Conceptual Issues in
Contemporary Psychometrics.
New York: Cambridge University Press.
Gerald Corey. 2011. Theory and Practice of
Counseling and Psychotehrapy. 6th ed. Belmont, CA: Brooks/Cole
Philip Carter. 2009. Test and Assess Your Brain Quotient: Discover Your True Intelligence
with Tests of Aptitude, Logic, Memory, EQ, Creative and Lateral Thinking.
London: Cogan Page.
Roberta M. Milgram. 1991. Counseling Gifted and Talented Children: A
Guide for Teachers, Counselors, and Parents. Norwood, NJ: Ablex Publishing
Corporation.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar