al azmi media

Minggu, 13 Januari 2013

wayang sebagai warisan mahakarya dunia dalam seni bertutur

Wayang bukan hanya sekedar tontonan tetapi juga tuntunan dalam kehidupan untuk mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akherat dalam tingkat kesempurnaan abadi, sehingga tokoh-tokoh di pewayangan di identikkan dengan sifat-sifat manusia dan alam didalam kehidupan sehari-harinya. Pada 2003   UNESCO menetapkan wayang sebagai warisan pusaka
dunia yang berasal dari Indonesia. Wacana tentang wayang sebagai karya adiluhur memang sudah terlontar pada abad ke-19. Ketika itu pakar budaya Hindia Belanda, JLA Brandes mengatakan bahwa wayang merupakan peninggalan asli milik bangsa Indonesia. Menurutnya, segala unsur dalam wayang itu tidak dipengaruhi kebudayaan India, baik yang bercirikan Hinduisme maupun Buddhisme.

Wayang sebagai kebudayaan tertua asli Indonesia, banyak disebut oleh sumber-sumber sejarah, utamanya prasasti. Prasasti tertua yang memberi informasi perwayangan berasal dari masa pemerintahan Raja Airlangga, abad ke-10 Masehi.

Dalam bentuknya yang paling sederhana, konon pertunjukan wayang sudah dikenal di Indonesia jauh sebelum kedatangan orang-orang Hindu. Pertunjukan itu mulai muncul sekitar zaman Neolitik atau tahun 1500 SM.

Munculnya wayang ditafsirkan karena bayangan lukisan manusia dipandang dapat merupakan tontonan yang menghibur. Pada awalnya, gambar bayangan tersebut diwujudkan di atas daun tal. Karena daun tal dianggap terlalu kecil, selanjutnya gambar dipindahkan ke atas kulit lembu atau sapi.

Gambar yang ditatah tersebut kemudian diberi latar kain putih. Dengan bantuan sinar lampu, penonton dapat melihat bayangan hitam pada layar. Itulah yang disebut pertunjukan wayang, yang artinya melihat bayangan (wayangan).

N.J. Krom dan W. Rassers berpendapat bahwa pertunjukan wayang di Jawa sama dengan apa yang ada di India Barat. Jadi kemungkinan wayang merupakan perpaduan unsur Hindu dan Jawa. Ada pula yang mengatakan bahwa wayang berasal dari Cina. Yang berpandangan demikian di antaranya adalah G. Schlegel. Katanya, pada pemerintahan Kaisar Wu Ti, sekitar tahun 140 SM, ada pertunjukan bayang-bayang semacam wayang. Pertunjukan ini menyebar ke India, baru kemudian dari India dibawa ke Indonesia. Adanya persamaan kata antara bahasa Cina Wa-yaah (Hokkian), Wo-yong (Kanton), Woying (Mandarin), dan Wayang (Jawa), mungkin menjadi bukti adanya saling mempengaruhi.

Secara tradisional pertunjukan wayang dimainkan pada malam hari. Hanya untuk kepentingan pariwisata atau menghibur tamu-tamu mancanegara, wayang sesekali dipertontonkan pada siang hari. Waktunya pun jauh dipersingkat, tidak lagi semalam suntuk sebagaimana bentuk aslinya. Hal di luar pakem ini pernah beberapa kali dilakukan oleh pengelola Taman Mini dan museum.

Alasan diselenggarakan pada malam hari adalah karena bila hari sudah gelap, maka dalang dapat mengusir roh-roh yang gentayangan. Ketika itu profesi dalang sangat dihormati karena dianggap sebagai “orang pintar”. Agar bisa berhubungan dengan roh nenek moyang, maka tempat yang dipilih adalah tempat khusus, angker, atau sakral, lengkap dengan pemujaannya. Artefak-artefak yang banyak dijadikan sarana itu adalah dolmen (meja batu), menhir (tugu batu), dan takhta batu yang merupakan peninggalan dari zaman prasejarah. Sumber oleh: Djulianto Susantio Arkeolog http://hurahura.wordpress.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar