Wayang bukan hanya
sekedar tontonan tetapi juga tuntunan dalam kehidupan untuk mencapai
kebahagiaan baik di dunia maupun di akherat dalam tingkat kesempurnaan abadi,
sehingga tokoh-tokoh di pewayangan di identikkan dengan sifat-sifat manusia dan
alam didalam kehidupan sehari-harinya. Pada 2003 UNESCO menetapkan wayang sebagai warisan pusaka
dunia yang
berasal dari Indonesia. Wacana tentang wayang sebagai karya adiluhur memang
sudah terlontar pada abad ke-19. Ketika itu pakar budaya Hindia Belanda, JLA Brandes mengatakan bahwa
wayang merupakan peninggalan asli milik bangsa Indonesia. Menurutnya, segala
unsur dalam wayang itu tidak dipengaruhi kebudayaan India, baik yang bercirikan
Hinduisme maupun Buddhisme.
Wayang sebagai
kebudayaan tertua asli Indonesia, banyak disebut oleh sumber-sumber sejarah,
utamanya prasasti. Prasasti tertua yang memberi informasi perwayangan berasal
dari masa pemerintahan Raja Airlangga, abad ke-10 Masehi.
Dalam bentuknya yang
paling sederhana, konon pertunjukan wayang sudah dikenal di Indonesia jauh
sebelum kedatangan orang-orang Hindu. Pertunjukan itu mulai muncul sekitar
zaman Neolitik atau tahun 1500 SM.
Munculnya wayang
ditafsirkan karena bayangan lukisan manusia dipandang dapat merupakan tontonan
yang menghibur. Pada awalnya, gambar bayangan tersebut diwujudkan di atas daun
tal. Karena daun tal dianggap terlalu kecil, selanjutnya gambar dipindahkan ke
atas kulit lembu atau sapi.
Gambar yang ditatah
tersebut kemudian diberi latar kain putih. Dengan bantuan sinar lampu, penonton
dapat melihat bayangan hitam pada layar. Itulah yang disebut pertunjukan
wayang, yang artinya melihat bayangan (wayangan).
N.J. Krom dan W.
Rassers berpendapat bahwa pertunjukan wayang di Jawa sama dengan apa yang ada
di India Barat. Jadi kemungkinan wayang merupakan perpaduan unsur Hindu dan
Jawa. Ada pula yang mengatakan bahwa wayang berasal dari Cina. Yang
berpandangan demikian di antaranya adalah G. Schlegel. Katanya, pada
pemerintahan Kaisar Wu Ti, sekitar tahun 140 SM, ada pertunjukan bayang-bayang
semacam wayang. Pertunjukan ini menyebar ke India, baru kemudian dari India
dibawa ke Indonesia. Adanya persamaan kata antara bahasa Cina Wa-yaah
(Hokkian), Wo-yong (Kanton), Woying (Mandarin), dan Wayang (Jawa), mungkin
menjadi bukti adanya saling mempengaruhi.
Secara tradisional
pertunjukan wayang dimainkan pada malam hari. Hanya untuk kepentingan
pariwisata atau menghibur tamu-tamu mancanegara, wayang sesekali dipertontonkan
pada siang hari. Waktunya pun jauh dipersingkat, tidak lagi semalam suntuk
sebagaimana bentuk aslinya. Hal di luar pakem ini pernah beberapa kali
dilakukan oleh pengelola Taman Mini dan museum.
Alasan diselenggarakan
pada malam hari adalah karena bila hari sudah gelap, maka dalang dapat mengusir
roh-roh yang gentayangan. Ketika itu profesi dalang sangat dihormati karena
dianggap sebagai “orang pintar”. Agar bisa berhubungan dengan roh nenek moyang,
maka tempat yang dipilih adalah tempat khusus, angker, atau sakral, lengkap
dengan pemujaannya. Artefak-artefak yang banyak dijadikan sarana itu adalah
dolmen (meja batu), menhir (tugu batu), dan takhta batu yang merupakan
peninggalan dari zaman prasejarah. Sumber oleh: Djulianto
Susantio
Arkeolog http://hurahura.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar